Jakarta, CNN Indonesia — Warga keturunan Tionghoa pernah mengalami fase-fase sulit di Indonesia. Keturunan Tionghoa menyebut etnis mereka sangat rentan menjadi sasaran persekusi jika situasi politik di negeri ini sedang tidak stabil.
You may also likeKesulitan itu masih ditambah ketika mereka memilih untuk memeluk agama Islam dan menjadi mualaf. Dilema dikucilkan keluarga hingga kerabat terasa menjadi ancaman nyata bagi mualaf Tionghoa.
You may also likeDenny Sanusi selaku Ketua DPW Persaudaraan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) DKI Jakarta mengutarakan masalah-masalah itu masih bertahan hingga kini walaupun keadaannya sudah jauh lebih baik ketimbang 30 tahun lalu ketika dia menjadi mualaf.
30 tahun lalu, kata Denny, selain populasi Tionghoa muslim belum ada, jumlah mereka pun masih sangat sedikit. Sehingga kondisi tiga dekade lalu itu terasa sangat luar biasa bagi Denny.
“Itu biasanya kalau kita masuk Islam kita dikucilkan dari keluarga, itu problem bahkan sampai sekarang pun masih problem, termasuk saya juga waktu masuk Islam juga begitu dikucilkan,” kenang Denny kepada CNNIndonesia.com, Jumat (25/5).
Denny mengatakan kehadiran ormas Islam untuk etnis Tionghoa sedikit banyak membantu meningkatkan taraf hidup mualaf keturunan China di Tanah Air. PITI yang dipimpinnya misalnya, mencoba menjadi jembatan antara etnis Tionghoa non-muslim dan muslim bahkan orang di luar etnisnya.
Kegiatan utamanya berupa dakwah dan syiar bahwa orang keturunan China ada yang memeluk Islam di Indonesia. Mereka juga mencoba untuk mengayomi keluarga mualaf yang dikucilkan dari lingkungannya sekaligus memberikan bimbingan agama.
“Alhamdulillah keadaan mualaf Tionghoa muslim dari tahun ke tahun semakin baik apalagi dengan adanya wadah seperti kita yang membina menampung Tionghoa muslim yang mayoritas adalah mualaf,” cerita Denny.
![]() |
Menjalin silaturahim dan Mengislamkan etnis Tionghoa
CNNIndonesia.com sempat mengikuti salah satu acara tahunan PITI DKI Jakarta. Acara yang diselenggarakan cukup unik karena menggunakan tiga bahasa yakni China, Arab dan Indonesia.
Acara ini dijadikan ajang silaturahim mualaf etnis Tionghoa dan juga dengan ormas Islam lainnya. Urunan dana juga dilakukan untuk memberikan santunan pada 500 anak yatim dan keluarga mualaf.
Salah satu agenda utama acara yang digelar di Gelanggang Olahraga (GPR) Otista, Jakarta Timur, Kamis (24/5) lalu itu adalah mengislamkan dua orang keturunan Tionghoa oleh Dubes Arab Saudi, Osama bin Mohammed Abdullah Al Shuaibi.
Justiartha Hadiwinata, salah satu orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat di acara itu mengatakan bahwa menjadi seorang mualaf memang bukan perkara mudah. Ada pro kontra di sekelilingnya, namun tak terlalu dijadikan masalah.
“Tidak mudah dan tidak sesederhana itu karena bukan dari sekeliling melainkan kita harus berkomitmen pada diri sendiri untuk menjalankan agama yg kita anut,” katanya.
Justiartha beruntung memiliki keluarga yang mendukung keputusannya memeluk Islam. Dia diberi kebebasan beragama dan memang beberapa dari kelurganya juga mualaf, termasuk sang ayah.
Sementara itu, Denny menjelaskan bahwa PITI memang menfasilitasi pada orang Tionghoa yang ingin masuk Islam. Setidaknya, PITI berhasil mengislamkan lima orang keturunan Tionghoa setiap bulannya.
Mualaf berhak mendapat perhatian dan hak
Salah satu masalah yang dihadapi mualaf dengan berbagai latar belakang etnis di Indonesia adalah kurangnya perhatian, terutama soal pemberian hak.
Dalam Islam, mualaf menjadi golongan yang berhak mendapatkan zakat. Namun hingga kini, perhatian dan pemberian hak terhadap kaum mualaf masih belum maksimal diberikan pemerintah.
“Selama ini pemerintah memang belum maksimal membantu kita. Ada bantuan tapi belum maksimal, padahal mualaf itu sebenernya dalam Quran termasuk satu dari delapan asnaf yang harus dibantu,” ungkap Denny.
Bantuan yang diterima mualaf, menurut Denny berupa bantuan pembinaan dan uang. Sayangnya, bantuan itu sangat terbatas, karena hanya diberikan pada saat seseorang pertama menjadi mualaf saja dan bersifat sporadis.
Padahal, setiap mualaf bisa jadi menghadapi risiko besar ketika memutuskan berpindah agama. Alhasil, setiap mualaf perlu legowo, sabar dan berjuang sendiri untuk menghadapi risiko pilihannya beragama.
“Kami masuk Islam udah tahu konsekuensi, bahwa itu pilihan kami masuk islam. Jika ada ujian dikucilkan itu kita terima dengan sabar, kita terus berjuang. Himbauan saya hanya memberikan masukan bahwa ada masalah di mualaf saat ini,” kata Denny.