Etnis Tionghoa di Indonesia yang berpindah ke agama Islam dan menjadi muslim seringkali merasa harus menyembunyikan agama baru mereka dari keluarga karena persepsi yang kurang informasi. Meskipun sering berselisih dengan keluarga, banyak Muslim Tionghoa terus memimpikan Indonesia yang lebih toleran.
“Saya melihat orang-orang mendorong troli supermarket yang penuh dengan barang-barang yang sepertinya dijarah dari toko,” kenang pria 55 tahun itu. “Suasananya mengerikan.”
Eddy mencoba memanggil ojek, tetapi tidak ada pengendara yang mau menjemputnya. “Mereka menyinggung identitas saya sebagai orang Tionghoa. Mereka takut menjadi sasaran para perusuh.”
“Ketika saya masih sangat muda, saya dipanggil ‘China’ oleh anak-anak lain. Begitu dewasa, ada beberapa momen penolakan. Itu tidak benar, tetapi saya merasa biasa saja,” kenang Eddy, merujuk pada pengucapan “China” dalam bahasa Indonesia yang dianggap ofensif.
“Namun, apa yang saya lihat hari itu benar-benar membuat saya takut. Orang-orang berjalan-jalan dengan membawa pemukul kayu. Mereka mengatakan kepada siapa pun yang memakai helm untuk melepasnya, sehingga mereka bisa melihat wajah pengendara motor. Ketika mereka mengetahui bahwa orang itu adalah seorang Tionghoa, mereka akan memukulinya dengan tongkat. Itu kejam sekali.”
“Saya telah masuk Islam jauh sebelum kerusuhan terjadi,” tutur Eddy, yang menjadi seorang Muslim Tionghoa Indonesia pada 1992.
“Saya telah terpesona oleh agama Islam sejak masih di sekolah menengah. Saya biasa duduk selama jam istirahat dan mendengarkan pengajian Alquran dari masjid terdekat. Itu sangat menenangkan.”
Terlahir dengan nama Tjong Hok Tjwan, Eddy adalah cucu seorang migran Tionghoa yang melarikan diri dari China yang dilanda perang pada 1923. Memimpin sekelompok rekan warganya, kakeknya Tjong Ting Siang melakukan perjalanan ke Indonesia dan menetap di Magelang, Jawa Tengah, tempat Eddy dan keluarganya masih tinggal hingga kini.
Di bawah Presiden Soeharto yang berkuasa dari 1967 hingga 1998, semua nama Tionghoa harus diganti dengan yang terdengar Indonesia. Mempertontonkan unsur tradisi budaya Tionghoa juga dilarang, yang memaksa integrasi lebih lanjut. Namun, keputusan Tambuang untuk masuk Islam adalah masalah yang sama sekali berbeda.
“Salah satu adik perempuan saya sangat marah,” kenang Eddy.
Massa yang marah membakar mobil dan toko-toko milik orang Tionghoa saat mereka menjarah toko-toko di Jakarta selama kerusuhan 1998. (Foto Ilustrasi Muslim Tionghoa Indonesia: AFP)
Baca Juga: Hapus Pilkada Langsung, Akankah Indonesia Jadi Demokrasi Dua Tingkat?
“Dia mengirimi saya surat yang ditulis dengan tinta merah, menggunakan kata-kata yang sangat kasar dan memaki-maki saya. Saya mencoba untuk tetap tenang dan tidak terpengaruh olehnya. Saya percaya telah membuat keputusan yang tepat untuk diri saya sendiri.”
Menjadi keturunan Tionghoa di Indonesia dan masuk Islam telah menempatkan Eddy dalam kelompok minoritas ganda. “Jelas, menjadi etnis Tionghoa membuat saya menjadi bagian dari minoritas di negara ini. Namun, kemudian ketika saya juga merupakan minoritas dalam persentase kecil orang Tionghoa Indonesia karena menjadi muslim, saat itulah segalanya menjadi lebih tidak nyaman.”
Ketika Eddy seorang Muslim Tionghoa Indonesia dan kekasihnya sejak lama, Aida Hidajati, seorang Muslim Jawa, memutuskan untuk menikah, kedua keluarga mereka tidak setuju.
“Perjalanan kami panjang dan berliku, dan ada air mata,” kenang Hidajati. “Ada saat-saat ketika saya merasa ingin menyerah karena mereka menyulitkan kami hanya karena dia orang Tionghoa dan saya orang Indonesia pribumi.”
Melawan segala rintangan, pasangan itu menikah dan memiliki dua anak, sekarang berusia 16 dan delapan tahun.
“Segala sesuatunya mulai membaik ketika anak pertama kami lahir,” tutur Aida (51).
“Kami sekarang memiliki hubungan yang sangat baik dengan keluarga kami.”
Namun, terkadang masalah masih muncul dalam keluarga besar mereka.
“Saya harus keluar dari grup WhatsApp keluarga beberapa waktu lalu karena mereka sering membuat pernyataan ofensif tentang Islam,” ujar Eddy.
“Saya sudah mencoba untuk mengklarifikasi hal-hal sebelumnya tetapi kemudian saya sudah muak. Saya menyadari, saya adalah minoritas di antara orang-orang ini dan saya menerimanya. Saya masih merasa demikian.”
Eddy dan Aida mulai menjelaskan latar belakang keluarga mereka kepada anak-anak mereka sejak mereka masih sangat muda. “Saya memberi tahu mereka tentang garis keturunan mereka dan mengapa beberapa orang melihat kami berbeda,” ucap Eddy. “Namun, saya selalu mengingatkan mereka, kita adalah orang Indonesia, bagaimanapun juga.”
“Anak bungsu saya Billy pernah memberi tahu kami, teman-temannya di sekolah biasa memanggilnya ‘China! China!’ Untungnya, dia tidak terpengaruh dan hanya mengabaikannya. Anak-anak itu akhirnya berhenti mengejeknya.”
Dilansir dari South China Morning , menurut organisasi internasional independen Forum Ekonomi Dunia (WEF), Indonesia pada 2016 memiliki populasi etnis Tionghoa terbesar di dunia di luar China, dengan total 7,6 juta jiwa.
Orang-orang mengunjungi klenteng di Denpasar, Bali, untuk memperingati Tahun Baru Imlek, 5 Februari 2019. Kedua calon presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto malu-malu menyebut langsung dengan kelompok minoritas dalam ucapan mereka di Twitter, menghindari menyebut mereka sebagai warga Tionghoa. (Foto Ilustrasi Muslim Tionghoa Indonesia: Agen France-Presse)
Fathoni Hakim, peneliti di Pusat Studi Indonesia Tionghoa di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel di Surabaya, Jawa Timur, memperkirakan 1,9 juta etnis Tionghoa di Indonesia beragama Islam. “Tidak ada statistik resmi mengenai ini. Banyak Muslim Tionghoa Indonesia menyembunyikan identitas mereka dari keluarga atau komunitas mereka. Mereka takut dengan apa yang bisa terjadi jika keluarga mereka tahu.”
Fathoni menambahkan, dalam banyak kasus mereka diusir dari keluarga atau komunitas setelah masuk Islam karena beberapa orang Tionghoa memiliki persepsi keliru tentang umat Muslim di Indonesia. Beberapa di antaranya akan dianggap “tidak berpendidikan, tidak beruntung secara finansial, dan mereka sering meminta sumbangan, terkadang dengan paksa,” ujar Fathoni.
“Seorang Tionghoa Indonesia yang memeluk Islam akan dikritik dan ditekan dengan keras oleh keluarga dan komunitas mereka,” tambah Hakim. “Hal ini menghambat proses sensus penduduk.”
Mahdi, ketua Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) untuk Magelang, menyatakan terlalu banyak orang Tionghoa yang menganggap memeluk Islam sebagai hal yang memalukan. “Saya yakin masih banyak yang belum mengaku dan karenanya belum terdaftar,” tutur pria berusia 50 tahun itu. “Mereka masih takut untuk membuka diri, terutama kepada orang tua mereka.”
Dia masuk Islam ketika duduk di kelas empat sekolah dasar. Mahdi mengaku, keluarganya mungkin akan menerimanya pindah agama lain seperti Kristen. “Namun, memeluk Islam adalah aib yang memalukan.”
Terlahir sebagai Kwee Giok Yong, Mahdi mengatakan, orang Tionghoa Indonesia yang telah berpindah ke agama islam dan menjadi muslim sering merasa takut menjadi minoritas di komunitas mereka sendiri. Banyak yang mengalami persekusi, termasuk intimidasi, tambahnya. “Beberapa telah dikeluarkan dari keluarga, dicoret dari daftar penerima warisan, diejek, kepala mereka dicukur secara paksa, dan sebagainya. Inilah saat dukungan dari sesama Muslim lainnya sangat dibutuhkan.”
Dukungan penting, tegas Mahdi, termasuk memberikan bantuan untuk memperbarui dokumen resmi bagi Tionghoa yang telah pindah agama, seperti identitas nasional dan kartu keluarga, yang keduanya berisi data tentang agama pemegang kartu. “Memperbarui agama sangat penting karena ini adalah identitas baru mereka,” tutur Mahdi. Ia menambahkan, mengabaikan memperbarui data resmi dapat menyebabkan kebingungan dan kesalahpahaman keluarga.
Bagi Eddy sebagai muslim Tionghoa Indonesia, setelah melihat dan mengalami banyak melalui kacamata minoritas di dalam minoritas, ia mengaku tidak pernah berhenti memimpikan Indonesia yang lebih toleran.
“Apa pun yang terjadi di masa lalu ada di belakang kita sekarang. Kita semua harus melupakannya dan meninggalkannya di sana.”