Jakarta –
Mudik tahun ini bagaikan oase, kerinduan tak tertahankan kepada kampung halaman dan berjumpa dengan keluarga. Minat mudik kali ini sangat besar, pemerintah memperkirakan mencapai 85 juta warga mudik dengan berbagai tujuan. Besarnya arus mudik tahun ini dikarenakan telah dua tahun tradisi mudik tidak bisa kita laksanakan karena terhalang pandemi. Untuk mengendalikan pandemi covid19, pemerintah melarang warga balik kampung menjelang Idul Fitri tahun 2020 dan 2021.
Pemerintah cukup berhitung, arus mudik tahun ini seolah tak terbendung lagi. Fenomena ini terlihat dari angka pertumbuhan covid19 yang terus menurun, serta kehidupan sehari hari di sekitar Jabodetabek dan kota kota besar yang dulunya jadi pusaran pandemi kehidupan sosialnya terlihat telah pulih, meski pemberlakuan protokol kesehatan tetap diberlakukan. Untuk mengantisipasi agar arus mudik tidak memunculkan kembali kenaikan positive rate covid19, pemerintah mensyaratkan vaksin booster bagi para pemudik. Kebijakan ini efektif mendorong partisipasi warga untuk memburu vaksin booster.
Namun, kebijakan ini juga harus tetap pararel dengan kesiapsiagaan satgas covid19 di daerah. Satgas covid19 di daerah diperlukan untuk disiplin memastikan ketertiban dan kepatuhan warga, termasuk para pemudik untuk senantiasa menjalankan protokol kesehatan. Saya cukup senang moda transportasi seperti kereta api dan pesawat terbang tetap memberlakukan swab antigen. Sejalan dengan itu, pemerintah daerah perlu memastikan protokol kesehatan di tempat tempat umum seperti tempat wisata, restoran, dan fasilitas publik lainnya yang berpotensi menjadi kerumunan warga agar tetap dimonitor.
Tradisi Mudik
Terlihat beberapa hari ini kemacetan memanjang di jalan tol trans Jawa. Saya memberi apresiasi kepada segenap jajaran yang bertugas, seperti kepolisian dan Kementerian perhubungan. Mereka sigap membuat berbagai kebijakan untuk mengurai kemacetan. Tradisi mudik sebenarnya bukan hanya fenomena di negara kita. Di banyak negara juga memiliki tradisi mudik seperti saat kita menjelang lebaran Idul Fitri.
Rakyat India mudik saat akan perayaan Dilwali atau Festival of Lights. Perayaan ini tiap tahun dilaksanakan tiap hari ke 15 pada bulan Kartik menurut penanggalan Hindu. Dilwali dirayakan dengan jutaan cahaya lilin sebagai makna kembalinya Dewa Rama dan Dewi Shinta ke Ayodhya setelah mengalahkan Raja Rahwana sebagai simbol angkara murka. Festival of Lights bermakna sebuah kemenangan kebaikan atas kejahatan.
Rakyat Tiongkok mudik tiap tahun menjelang perayaan Imlek atau tahun baru dalam penanggalan Tionghoa. Karena selama perasaan Imlek disertai dengan libur panjang, momentum inilah yang mendorong banyak warga Tionghoa pulang kampung. Korea Selatan juga budaya mudik. Mudik rutin di Korea Selatan dilakukan saat Chuseok atau festival musim panas Hangawi. Festival ini digelar di tengah musim gugur. Hangawi atau dikenal dengan Hari Panen. Sehingga rakyat Korea Selatan meluangkan waktu untuk mengucap rasa syukur bersama. Pemerintah biasanya menetapkan libur tiga hari pada perayaan Chuseok ini.
Seperti halnya di Indonesia, di banyak negara berpenduduk mayoritas muslim seperti Malaysia, Turki, Arab Saudi juga melakukan tradisi mudik menjelang lebaran seperti kita di Indonesia. Fenomena mudik adalah tradisi global, khususnya di wilayah Asia, dimana kepatuhan terhadap nilai nilai tradisi masih sangat kuat.
Tradisi mudik ke kampung halaman biasanya disertai beragam kegiatan sosial. Bagi keluarga yang telah meninggal, mudik disertai dengan ziarah kubur, membersihkan makam dan mendoakan keluarga yang telah meninggal. Meskipun sholat Ied di pagi hari Idul Fitri bersifat sunnah, namun dalam praktik sosialnya seolah wajib. Tidak heran jika pelaksanaan Sholat Ied selalu di sesaki oleh para jama’ah.
Paska Sholat Ied, kita melanjutkan ritus sosial dengan halal bi halal, atau saling berkunjung untuk saling meminta maaf, bertemu sanak keluarga besar, dan teman teman waktu kecil yang kini sudah pada merantau. Halal bi halal menjadi reuni sosial, menguak ikatan sosial masa lalu, menjadi katarsis atas rasa rindu yang membuncah. Halal bi halal menjadi ritus pemelihara ikatan sosial, sekaligus peleburan segala status sosial, dan ruang untuk mengakui dan meminta maaf antar tetangga, sekaligus perjumpaan baru terhadap mereka yang selama ini belum saling kenal.
Mengakhiri puncak perayaan Lebaran, biasanya pada hari ketujuh, kita pungkasi dengan berbagi ketupat dan opor ayam. Perayaan ini sesungguhnya khas Indonesia. Tradisi ini dimulai dari perayaan Idul Fitri pada masa Kesultanan Demak. Sunan Kali jaga sebagai salah satu sunan yang kreatif dalam gerakan pribumisasi Islam, dan selalu punya cara cerdik. Beliau mentradisikan memasak ketupat di saat Idul Fitri yang mengajarkan makna ketupat sebagai “ngaku lepat” atau mengaku salah. Sebuah pesan penting untuk membunuh egoisme. Simbol ketupat memudahkan ingatan penduduk Jawa waktu itu, bahwa lebaran saatnya bersama sama ngaku lepat.
Efek Ekonomi
Mudik yang membawa rangkaian kegiatan sosial tentu memiliki efek ekonomi sekaligus manifestasi kegotong royongan. Sudah menjadi kebiasaan menjelang Ramadhan dan Idul Fitri terjadi kenaikan harga harga barang konsumsi. Hal itu terjadi lantaran permintaan terhadap barang barang konsumsi naik. Kenaikan permintaan itu terjadi karena kebutuhan warga meningkat untuk menyambut Idul Fitri.
Permintaan terhadap beras cenderung naik. Beras sebagai kebutuhan konsumsi sehari hari naik karena sanak keluarga dari jauh pada mudik dan meningkatnya acara makan bersama keluarga. Selain itu ada kebutuhan pula untuk menunaikan kewajiban Zakat Fitrah bagi kaum muslim bagi yang mampu. Beras untuk memenuhi Zakat Fitrah guna disalurkan kepada kaum fakir miskin. Energi Zakat Fitrah sedemikian besar. Perkiraan Baznas Zakat Fitrah kita bisa mencapai lebih dari 350 ribu ton beras. Hal ini bisa menciptakan ekonomi sirkuler yang sangat besar bagi petani dan pedagang, sekaligus menjadi katalisator sosial yang cukup efektif untuk mengurangi tekanan ekonomi terhadap keluarga miskin. Bila tradisi berbagi ini kita budayakan tiap bulan, akan sangat efektif mem-buffer kebijakan pemerintah menciptakan stabilisasi sosial.
Lebaran identik pula dengan baju baru, kue Lebaran, dan angpao. Tidak heran bila jelang lebaran permintaan atas tekstil dan pakaian jadi akan meningkat. Kebutuhan terhadap bahan makanan dan kue juga akan meningkat. Hal ini mendorong putaran roda ekonomi yang sangat besar. Kita menyaksikan menjelang lebaran, ritel kita yang dua tahun ini sepi akibat pandemi, kini kembali bergairah. Gerai gerai supermarket dipadati oleh para pembeli. Pada tahun lalu, di saat masih pandemi, Apindo mencatat pertumbuhan ritel modern jelang Ramadhan dan Idul Fitri tumbuh 30 persen. Kita harapkan dengan perayaan Lebaran kali ini perdagangan ritel dan pasar tradisional kita tumbuh lebih baik. Hal ini akan membantu sektor UMKM kita yang berperan penting sebagai penopang 61,9 persen PDB kita.
Lebaran juga mentradisikan semangat untuk berbagi. Sanak keluarga di rantau atau yang sedang mudik biasanya membagikan uang untuk orang tua atau sanak keluarga di kampung halaman. Tujuannya untuk membantu orang tua dan sanak keluarga di kampung memenuhi kebutuhan lebaran. Selain itu masih ada angpao kecil yang biasanya dibagikan untuk anak anak saat kegiatan halal bi halal. Tradisi ini akan menopang kemampuan daya beli warga di daerah.
Kebijakan pemerintah yang menggelontorkan anggaran Tunjangan Hari Raya (THR) sebesar Rp. 34,3 triliun untuk Aparatur Sipil Negara (ASN), TNI, Polri dan para pensiunan sangat penting untuk menguatkan daya beli rumah tangga. Ditambah lagi dengan kebijakan pemberian THR bagi perusahaan terhadap para karyawannya. Saya yakin kegiatan berbagai keluarga di kampung, dan kebijakan THR ini akan mendongkrak konsumsi rumah tangga kita yang berkontribusi 55 persen PDB.
Terakhir, untuk mengisi waktu saat di kampung halaman, para perantau yang pulang kampung kerapkali berwisata di sekitar kotanya. Peningkatan wisata domestik ini juga akan berkontribusi menggerakkan sektor jasa dan perdagangan. Sektor wisata inilah yang paling terpukul akibat pandemi. Kita harapkan arus besar mudik ini dapat menggeliatkan kembali sektor pariwisata kita di daerah.
MH Said Abdullah
Ketua Badan Anggaran DPR RI
(hri/hri)