Jakarta –
Populisme, sebuah istilah yang sering disebut dalam konteks politik kontemporer. Menurut Cas Mudde dan Kaltwasser (2017), populisme didefinisikan sebagai sebuah ideologi tipis-berpusat (a thin-centered ideology) yang menganggap bahwa masyarakat pada akhirnya dipisahkan menjadi dua kubu homogen dan antagonis, yakni “orang-orang murni” (the pure people) versus “elite korup”, dan berpendapat bahwa politik harus menjadi ekspresi dari volonte generale (kehendak umum) rakyat.
Namun, populisme kontemporer, di Indonesia dan di tempat lain, telah memperlihatkan gejala yang berbeda. Dalam banyak kasus, populisme hadir di antara kelas menengah dan atas, yang memobilisasi kecemasan mereka karena kekhawatiran atas kehilangan dominasi ekonomi, politik, sosial, dan budaya dalam masyarakat yang semakin mengglobal. Di sini, ras, agama, dan identitas sektarian lainnya adalah arena utama sebagai tempat populis beroperasi.
Terkonsentrasi pada Personal
Sejumlah ahli menggambarkan bahwa populisme Indonesia terkonsentrasi pada personal dan platform politik Prabowo Subianto, baik pada Pemilu 2014, dan makin menguat pada Pemilu 2019. Dalam konteks ini, Prabowo menggabungkan elemen nasionalisme chauvinis (populisme klasik) dan Islamisme (parsial, tidak menyeluruh) ke dalam kerangka populismenya.
Strategi ini tampaknya masuk akal, dan mengikuti contoh serupa di seluruh dunia. Dukungan kaum evangelis untuk Trump di Amerika Serikat dan Jair Bolsonaro di Brasil menjadi dua kasus yang menonjol dalam hal ini. Namun, mempersempit populisme Indonesia hanya pada fenomena Prabowo berpotensi untuk mengabaikan fitur dan daya tarik dari bentuk populisme yang berpengaruh lainnya, seperti populisme Islamis.
Memang, pada mulanya, populisme Islamis cenderung diabaikan sebagai aktor politik independen dan berpengaruh. Hal ini tidak terlepas dari keragaman internal dan tidak adanya sosok pemimpin pemersatu. Semenjak masa Orde Baru hingga Reformasi, kekuatan-kekuatan Islamis tersebar dalam sejumlah organisasi dan gerakan yang memiliki agenda, pemikiran, dan cara perjuangan masing-masing. Bahkan, di antara mereka memiliki perbedaan yang mencolok dalam pandangan keagamaan maupun ideologi politik.
Mereka pun mampu menyebarkan pesannya melalui jaringan akar rumput yang luas di media sosial, masjid, dan kelompok-kelompok pengajian. Semua fenomena tadi, tentu tak bisa dilepaskan dari kepemimpinan Habib Rizieq Shihab, seorang yang sangat kontroversial, tetapi di sisi lain, begitu dipuja oleh para jamaahnya.
Gerakan populis memang senantiasa menetapkan seorang sebagai pemimpin yang dipandang mengerti dan akan mewujudkan kehendak umum. Dalam konteks ini, kebangkitan personal Rizieq Shihab, yang dipandang sebagai tokoh sentral di Front Pembela Islam (FPI) sekaligus memiliki keunggulan tersendiri sebagai “keturunan Nabi”, telah memberi kaum Islamis corong untuk mengartikulasikan volonte generale (kehendak umum) dari komunitas Muslim yang “murni” dan beriman (the pure people).
Sebagaimana dipahami, kehendak umum itu adalah islamisasi negara, masyarakat, dan ekonomi Indonesia, dengan hukum Islam yang diterapkan secara konsekuen, dan memberi sebagian besar posisi politik bagi umat Muslim sebagai mayoritas. Singkatnya, jika menggunakan slogan FPI, menciptakan “NKRI Bersyariah”.
Dalam konteks lain, sentimen perlawanan juga ditujukan kepada kelompok minoritas, khususnya keturunan Tionghoa, yang dipandang telah menguasai ekonomi dan kekayaan negara, dan bertanggung jawab atas kemiskinan yang dialami kelompok mayoritas. Sentimen yang hampir sama dalam kasus populisme Trump di Amerika Serikat, tetapi dengan objek yang berbeda.
Di sini, Rizieq Shihab telah dengan tegas ditetapkan sebagai juru bicara populisme Islamis di Indonesia.
Lalu, pertanyaannya, apakah populisme Islamis ini berbahaya bagi Indonesia dan demokrasi?
Berdasar tulisannya, Mudde dan Kaltwasser (2017) menjelaskan bahwa populisme bisa dimaknai secara positif sebagai implementasi dari demokrasi karena membela prinsip kedaulatan rakyat dengan tujuan pemberdayaan kelompok yang tidak merasa diwakili dan diakomodasi dalam pembangunan politik. Hal ini menegaskan sejumlah pendekatan dalam memaknai populisme, seperti the popular agency approach.
Senada dengan itu, Laclauan approach menganggap populisme dapat dilihat sebagai bagian dari demokrasi radikal, yang merupakan solusi dari kekurangan yang ada di dalam demokrasi liberal. Dalam hal ini, populisme dapat membantu memperkenalkan kembali konflik (dalam pengertian yang sehat) ke dalam politik, dan membina mobilisasi masyarakat yang terpinggirkan dengan tujuan mengubah status quo.
Di sisi lain, populisme juga memiliki sisi gelap. Ia, merujuk pada nilai dasarnya yang menekankan pada kepemimpinan terpusat dan homogenitas kehendak rakyat, berpotensi mengarah pada legitimasi otoritarianisme dan mengancam siapa saja yang dianggap melawan “kehendak umum” tersebut.
Merujuk pada penjelasan di atas, sepertinya populisme Islamis yang melibatkan kepemimpinan Rizieq Shihab sebagai “imam besar” cenderung sulit dimaknai dalam artian positif. Mengingat, mobilisasi umat yang terjadi bermaksud untuk, dalam porsi yang lebih besar, mempertahankan status quo dan meneguhkan hegemoni satu kelompok atas kelompok lainnya.
Ari Putra Utama mahasiswa Ilmu Politik Universitas Indonesia
(mmu/mmu)