Jakarta –
Judul: Suluk Kebudayaan Indonesia: Menengok Tradisi, Pergulatan dan Kedaulatan Diri; Penulis: Irfan Afifi (ed.), Hasan Basri Marwah, Hairus Salim HS, dll; Penerbit: Buku Langgar, 2021; Tebal : xlvi + 436 halaman
Buku tebal ini sebenarnya sudah saya ketahui sejak pra cetak, tetapi urung saya beli, sebab terkendala finansial. Buku tebal, tentu mahal.
Bagi saya, sebenarnya tidak pernah ada buku yang terlalu mahal, bila memang “butuh”. Waktu itu saya merasa belum begitu butuh. Namun jodoh bukan sesuatu yang bisa ditampik; buku datang sendiri ke teras rumah. Buku tebal itu berjudul Suluk Kebudayaan Indonesia: Menengok Tradisi, Pergulatan dan Kedaulatan Diri (SKI).
Muka buku estetis, karena digarap oleh seorang perupa, Jumaldi Alfi. Walupun bukan kurator dan kritikus seni rupa, ketika mengelus muka buku ini, saya tersedot untuk menafsir-nafsir, “Apa kira-kira makna gambar ini?”
Karena sudah kesengsem, sejak dari muka dan judul, tentu segera saya menelusuri “kedalaman” selanjutnya. Saya menikmati buku ini sebagai bagian integral atas apa yang selama ini saya gelisahkan, yakni tentang nasib kebudayaan Indonesia. Sejak hengkang dari pesantren dan berjelang dengan Yogyakarta, saya terus-menerus digumuli pusaran arus religiusitas, lokalitas, dan kebudayaan global yang tak berkesudahan.
Bagaimana Jawa, Islam, dan nilai-nilai kultural lain dari negeri ini bertemu dengan ideologi-ideologi dunia, bagi saya menjadi sebuah mambang: ngeri sekaligus misteri. Hubungan agama dan budaya sendiri sudah cukup pelik, belum yang lain-lain. Di tengah kepelikan yang mungkin tak pernah usai itu, tiba-tiba jagat (global) sudah saling merembesi satu sama lain ketika internet tersambungkan.
Kebudayaan-kebudayaan dari berbagai arah, berbagai zaman, berbagai pandangan hidup tiba-tiba saling tindih, saling resap begitu cepat dan nampak acak. Melalui SKI saya mendapati nuansa rumah. Rumah besar yang kamar-kamarnya saling terhubung sekaligus saling terpisah. Saya menyebutnya “rumah batin”. Satu ruang di mana secara batin para penghuni bertemu pikir dan keresahan, juga harapan akan nasib dan nasab kebudayaan Indonesia secara lebih personal.
Mulanya, buku ini lahir memang dari semacam resah pikir tersebut. “Selain dikarenakan pola penceritaan tulisan (dari sudut pergulatan personal) yang diharapkan bisa lebih intim, dekat, dan bahkan sedikit emosional, yang bisa menggeret para pembaca untuk terlibat maupun menceburkan diri dalam kompleksitas diskursus ini, juga sebenarnya dinafasi ajakan pembayangan melalui penelaahan juga pembatinan dan pergulatan historis sejenis (dalam kasus saya, Jawa) yang sebenarnya juga berlangsung di banyak tempat di wilayah kepulauan yang hari ini kita namakan Indonesia,” tulis Irfan Afifi di halaman pengantar.
Irfan Afifi adalah penggagas forum diskusi kebudayaan yang hasilnya terbukukan menjadi SKI ini. Ia seorang pencari titik temu antara aliran pengetahuan yang diterimanya dan kesadaran terdalam dirinya sebagai manusia muslim Jawa. Ia ingin mencari pertautan dari literasi dan eksistensi. Ia memandang bahwa secara ontologis (hakikat atau sangkan-paran), epistemologis (model pengetahuan), dan pemaknaan kebudayaan, masyarakat Jawa berlainan arus dengan kebudayaan dunia yang saat ini bertumbuh dari rahim peradaban Barat.
Di Barat, budaya boleh—bahkan terkesan “harus”—memisahkan diri dari agama. Di Jawa, tidak bisa seperti itu. Irfan Afifi melihat, “…kualitas dari olah laku spiritual Jawa pertama bertujuan untuk menegakkan unsur kemanusiaan, alias untuk kepentingan dunia ini, dan bukan merupakan usaha eskapisme murni.” (hlm: 75). Jadi, kemanusiaan atau humanisme versi Jawa integral dengan spiritualisme. Dari sini, terma budaya pun resap kuat dengan tahapan kesadaran diri-spiritual.
Kejawaan masih sebagai tema sentral, minimalnya mengambil porsi paling banyak dari banyak kamar, di SKI. Namun, energi utama dari buku ini bukanlah itu. Keterlibatan eksistensi personal dalam tiap paparan oleh para penghuni SKI bagi saya paling menarik diperhatikan.
Pada kamar Menjadi Muslim, Menjadi Indonesia milik Katrin Bandel, energi personalitas begitu gilap. Di sini, interior khas Katrin berupa wacana post-kolonial, feminisme, dan kritik sastra tidak dipasang sama sekali. Ia benar-benar mengeksteriorkan pengalaman batinnya secara gamblang.
Ia berpindah agama dari “non” ke Islam. Apakah lantas ia merasakan kenyamanan sebuah kemapanan batin? Apakah lantas ia merayakan dunia baru itu dengan glorifikasi indentitas baru? Tidak sama sekali. Justru sebaliknya, pergolakan arus batin dan intelektual semakin menderas—menurut penuturannya—bahkan sampai hari ini.
Islam yang dialami Katrin adalah pengalaman spiritual yang ultra personal. Semacam ‘getaran’ yang timbul sebagai rambatan dari pertemuan privatnya dengan Tuhan di ruang yang benar-benar sunyi. Dengan Tuhan, ia berdua, sendirian. Tiba-tiba Kesunyian privat itu retak-retak saat dihadapkan dengan polarisasi identitas-identitas teologis dan kultural yang cenderung ‘saling serang’ sekaligus saling bertahan di satu ritme.
Katrin berenang di pusaran tersebut di saat baru saja menjadi muslimah. Ia bertetangga dengan masyarakat Muhammadiyah, karib bergaul dengan kalangan NU, mengajar di kampus Katholik, ditambah stereotip muslim kulit putih di negeri sawo matang dan kuning langsat. (hlm 174).
Di samping Irfan Afifi dan Katrin Bandel, duduk bersebelahan dengan mereka narasi-narasi lain. Tersebut beberapa nama. Jadul Maula, seorang penghayat keluhuran nilai wayang. Makhfud Ikhwan, sastrawan, ia menarasikan kebudayaan populer lokal seperti tayub dan lagu-lagu dangdut sebagai tawaran lain memaknai kejawaan.
Hairus Salim, kurator literasi kebudayaan yang mengulas “keterpanaan Hamka” atas kemajuan masyarakat Amerika Serikat. Aftonul Afif, membincang nasib peranakan Tionghoa di peta sosio-politis Indonesia. Dengan pergolakan dan ekspresi batin masing-masing yang khas, mereka menenteng makalah dan berbicara.
Kebudayaan di dalam SKI diekspresikan sebagai bagian dari ekspresi batin masing-masing penghuninya. Kita memiliki masalah dan keprihatinan masing-masing atas satu dan beberapa aspek kebudayaan. Tetapi tak banyak yang berani dan jujur untuk menggumulinya secara sebat dan berdaulat. Para penghuni rumah batin budaya di SKI, selangkah dua langkah sudah memulainya. Bukankah menarik?
Akhmad Faozi Sundoyo penyuluh agama honorer; lahir di Pati, mukim di Bantul
(mmu/mmu)