Jakarta – Takbir menggema sejak bedug magrib di ujung bulan Ramadhan. Suka cita menyeruak di tengah kesibukan saling berkirim bingkisan lebaran; tidak saja di antara sesama muslim yang merayakan, tetapi juga semua masyarakat yang terlibat dalam keceriaan suasana menyambut hari suci esok pagi. Saya juga menerima banyak kiriman bingkisan dari para sahabat yang beragama lain berupa hidangan buka puasa, kue-kue penganan, atau karangan bunga, dengan kemasan sangat menarik. Di antara komunitas yang paling sibuk adalah toko-toko penjual parcel, makanan, dan para penyedia jasa antar; yang memperoleh order jauh melampaui hari-hari biasa. Berkah Ramadhan dan Lebaran semoga membahagiakan mereka.
Menyongsong lebaran beberapa hari lalu, suasana kita nano-nano, campur baur. Sebagian disebabkan rindu sanak saudara di kampung, karena wabah covid-19 memaksa kita tak bisa bertemu silaturahmi dua lebaran ini. Sebagian karena cemas akan meningkatnya kembali wabah covid-19 setelah libur lebaran, pun demikian dengan perkembangan ekonomi kita. Tetapi yang paling merisaukan adalah suasana kehidupan berbangsa, yang dalam beberapa aspek sepertinya hendak terus dibentur-benturkan dengan kehidupan beragama.
Hari-hari ini, perhatian kita tengah tertuju pada isu tes wawasan kebangsaan (TWK) yang harus ditempuh oleh para pegawai Komisi Pemnerantasan Korupsi (KPK). Soal-soal yang “normal” yang berkaitan dengan pengertian wawasan kebangsaan, tidak jadi perbincangan. Yang jadi pembahasan luas adalah soal-soal yang cenderung menjurus pada agama tertentu. Ada suatu persepsi yang dibangun seolah KPK banyak dimasuki pemeluk agama (Islam) beraliran keras; dan karena itu mereka harus dibersihkan dari lembaga pemberantas korupsi ini. Nah, pertanyaanya, apakah TWK ini dijadikan alat untuk “bersih-bersih”?. Pertanyaan berikutnya, bila informasi yang beredar itu benar adanya, apakah sikap beragama layak untuk dijadikan sasaran “pembersihan” dalam kehidupan bangsa yang menganut Pancasila?. Tidakkah ada satu empati bahwa sebagian dari rekan-rekan di KPK yang mendekat pada Tuhan, sebagai salah satu cara mereka untuk bertahan dari gempuran godaan dan tekanan yang keras sebagai penegak hukum?.
Soal praktik beragama di tempat kerja, saya teringat kuliah Auditing 28 tahun lalu, oleh seorang dosen yang sangat sabar dan baik hati. Namanya Drs. Hein G. Surjaatmata, seorang keturunan Tionghoa beragama Nasrani. Pak Hein memberi ilustrasi untuk menjelaskan makna independensi auditor. Seorang Auditor yang kedapatan shalat Jumat bersama-sama dengan kliennya/auditee tidak perlu dipersoalkan independensinya; sebab shalat jumat memang berlangsung di hari kerja, dan mungkin juga dilakukan di masjid perkantoran. Tetapi auditor yang beragama Kristiani ke gereja yang sama dengan kliennya di hari Minggu, patut mendapat pertanyaan: apakah memang mereka tinggal berdekatan atau menjadi anggota gereja yang sama?. Bila tidak menjadi anggota gereja yang sama, atau tidak tinggal di lingkungan yang sama, maka dari sisi independensi patut dipersoalkan. Dosen Hein G. Surjaatmaja sama sekali tidak sedang menjelaskan bahwa auditor beragama Islam lebih independen di banding auditor beragama Kristen atau Katolik. Beliau sedang menjelaskan konteks pekerjaan, sekaligus memberi pesan adanya perbedaan dalam cara beribadah, bagi agama yang berbeda; yang dalam konteks profesipun memerlukan penyikapan yang berbeda. Kalau saja Pak Heins masih ada dan bekerja di KPK, niscaya beliau akan protes keras: mengapa ada yang mempersoalkan karyawan KPK yang rajin shalat berjamaah, atau shalat tepat waktu?. Mengapa ada yang mempersoalkan membaca doa qunut atau tidak? Mengapa ada yang menanyakan bersediakah melepas jilbab?.
Salah satu legenda TNI, Letjen Sajidiman Surjohadiprodjo, yang tahun lalu berpulang, memiliki pandangan sangat menarik dalam menafsirkan Pancasila dan menempatkan hidup beragama. Dalam suatu diskusi empat tahun lalu, beliau menuturkan: “Indonesia punya modal yang tidak dimiliki oleh banyak bangsa-bangsa di dunia, yaitu Pancasila. Itulah kehebatan kita”. Mengenakan tongkat untuk menopang langkahnya, tetapi suaranya masih menggelegar jelas, dan pikirannya masih jernih. Beliau lantas meneruskan uraiannya. “Pancasila adalah rumusan tujuan, cara-cara, dan prinsip kita dalam bernegara. Kalau dibaca dari bawah, maka tujuan akhir dari bernegara adalah menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Caranya dengan berdemokrasi, musyawarah untuk mufakat, serta mengedepankan hikmah dan kebijaksanaan. Dalam bermusyawarah, kita harus terus menjaga persatuan dan menjunjung nilai-nilai kemanusiaan”. Ketika sampai di bagian berikut, Pak Sajidiman meninggikan suaranya: “Tapi, di atas semua itu, yang terpenting adalah kita percaya kepada Tuhan. Sesudah semua usaha dilakukan, maka kepada Tuhanlah kita memohon dan berserah diri. Tidak ada hal-hal yang kita usahakan akan terjadi tanpa ridho dan kuasa Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu sila pertama Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kami yang hadir di ruangan tamu yang amat sederhana itu, tercenung. Suatu penafsiran yang lugas, jelas, dan sangat masuk akal. Pak Sajidiman dengan tanpa menyebut urusan agama secara verbal, menyampaikan pesan yang jelas bahwa menjadi manusia Indonesia artinya menjadi insan yang percaya pada Tuhan; memeluk mengamalkan agama dengan kesungguhan.
Jelas kiranya bahwa, beragama bukanlah halangan untuk menjadi manusia Indonesia yang menjunjung tinggi wawasan kebangsaan. Pandangan ini pula yang digelorakan oleh seorang tokoh ummat Katolik, Mgr Soegijapranata SJ. (1896-1963). Seorang yang sangat nasionalis, dibesarkan dalam keluarga abdi dalem keraton Solo, memperoleh pendidikan sejak kecil dari lingkungan pemerintah kolonial, dan memilih menjadi pelayan ummat. Berkali-kali beliau memperoleh kesempatan memperdalam ilmunya dan penugasan kerokhanian di negeri Belanda dan Eeropa. Tetapi bahkan sesudah berkali kali mengenyam pendidikan dan penugasan sebagai Imam di negeri Belanda pun, kembali ke tanah airnya bukan menjadi pro kolonial, malahan jiwa nasionalismenya semakin menjadi-jadi. Pada tahun 1940, Romo Soegijapranata diangkat sebagai Uskup pribumi pertama, dalam keadaan Indonesia belum merdeka, dan karenanya dalam struktur Gereja Katolik di Hindia Belanda masih banyak unsur-unsur dari Belanda dan Eropa yang sangat kuat. Di antara pernyataannya yang paling diingat luas adalah: “Jika kita sungguh-sungguh Katolik sejati, maka kita sekaligus seorang patriot sejati”. “Karenanya, kita merasa bahwa kita 100 % patriot, justru karena kita 100 % Katolik”.
Suasana lebaran masih akan berlangsung beberapa waktu mendatang. Sebentar lagi kita akan memasuki kegiatan rutin, masih dalam suasana covid-19 yang melingkupi kita. Kiranya baik untuk memperluas seruan Romo Soegiyapranara: jalankan agama kita dengan sepenuh-penuhnya, tak perlu membenturkan antara hidup beragama dengan kehidupan berbangsa. Wawasan beragama bukan lawan dari wawasan kebangsaan, melainkan saling menopang. Sebab, “100% beragama, samalah artinya dengan 100% Indonesia”. Selamat lebaran, mohon maaf lahir batin.
Cilangkap, 1 Syawal 1442 H.
Sudirman Said. Penulis adalah Ketua Institut Harkat Negeri.
(rdp/rdp)