Jakarta –
Yusuf lahir dari keluarga suku minoritas Hui di China. Dia lahir dari keluarga muslim di China yang biasa-biasa saja. Minim mendapatkan pembelajaran tentang agama Islam, Yusuf dan keluarganya tidak terlalu banyak paham tentang syari`at Islam. Berikut ini kisah Yusuf, seperti dituturkan oleh Nur Musyafak, Mahasiswa S3 Central China Normal University Wuhan, Ketua Lembaga Pendidikan dan Sosial PCINU Tiongkok sekaligus Wakil Ketua Umum Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Tiongkok.
*****
Baru-baru ini saya menjalin komunikasi dengan teman lama saya melalui wechat, salah satu media sosial yang digunakan di China. Kami saling bertanya kabar, seputar kesibukan, dan keadaan Ramadhan di tengah pandemi Covid-19 seperti sekarang ini. Teman saya ini adalah seorang Muslim dari kota Shijiazhuang, kota yang terletak tidak jauh dari ibu kota Beijing.
Obrolan saya dengan dia ini, membuat saya teringat masa-masa ketika di China, tepatnya di kota Xiamen. Tujuh tahun yang lalu, saya berkenalan dengan salah satu Muslim Tiongkok yang bernama Yusuf dari group Muslim di QQ (salah satu media sosial di Tiongkok). Waktu itu saya masih menempuh s1 di kota yang memiliki julukan pulau bangau (ludao, é¹å²›). Karena suasana dan cuaca di kota Xiamen yang masih sangat sejuk dan asri, membuat burung bangau betah hidup di kota ini. Begitupun saya, merasa kerasan tinggal di kota Xiamen selam 4 tahun. Karena yang saya rasakan Xiamen sangat bersih, sejuk, asri, apa lagi pemerintah Xiamen menyelipkan taman-taman dengan tumbuhan yang asri di tengah-tengah kota.https://imasdk.googleapis.com/js/core/bridge3.463.0_id.html#goog_2116138000https://imasdk.googleapis.com/js/core/bridge3.463.0_id.html#goog_1361087594https://imasdk.googleapis.com/js/core/bridge3.463.0_id.html#goog_1135378323
Itu seputar kota Xiamen. Kembali lagi ke cerita tentang teman Muslim saya di Xiamen. Lelaki Muslim itu bernama Yusuf, kami pertama kali menjalin komunikasi melalui QQ, ketika ia sedang bekerja di Singapura. Ia sering bertanya kehidupan, cuaca, makanan yang ada di Xiamen. Karena beberapa bulan lagi ia akan pindah kerja ke Xiamen. Yusuf adalah seorang mekanik pesawat di sebuah maskapai penerbangan. Setelah pindah ke Xiamen, ia bersama temannya menyewa sebuah apartemen. Karena ia sibuk bekerja dan saya sibuk kuliah, sehingga tidak sempat ketemu, hanya komunikasi melalui media sosial.
Hingga akhirnya pada bulan Ramadhan ada satu hari libur nasional, jadi kami pun memutuskan untuk pergi ke Masjid bersama. Karena ia belum pernah ke Masjid yang ada di Xiamen sebelumnya, sehingga saya mampir terlebih dahulu ke apartemennya kemudian berangkat bersama ke Masjid. Setelah salat di Masjid, kami pergi jalan-jalan santai sambil bincang-bincang.
Dari obrolan itu, saya sedikit banyak tahu tentangnya, Yusuf lahir di keluarga Muslim yang biasa-biasa saja. Mereka adalah salah satu keluarga dari suku minoritas Hui, namun karena minim menerima pembelajaran tentang agama Islam, jadi banyak hal-hal terkait syari`at Islam yang tidak terlalu paham.
Bersama Yusuf selepas salat di Masjid Xiamen
Saya pernah iseng bertanya kepada Yusuf tentang menu sahur, ia menjawab hanya makan roti dan mie. Kemudian saya bertanya jam berapa bangun untuk sahur, ternyata ia bangun jam 6 pagi, karena menurut dia, waktu mulai berpuasa sama dengan berakhirnya waktu subuh. Saya sedikit terkejut, kira-kira madzhab mana yang menerangkan hal demikian. Namun yang saya tahu Masjid Xiamen mengeluarkan jadwal sahur dan berbuka yang sudah divalidasi dan kami pun mengacu pada jadwal tersebut untuk berbuka dan sahur. Akhirnya saya memfotokan jadwal buka puasa dan sahur yang dikeluarkan oleh Masjid, kemudian mengirimkannya ke teman saya tersebut. Sehingga selanjutnya ia berbuka puasa dan sahur mengikuti jadwal yang sudah ditetapkan.
Membuat dumpling bersama
Di waktu tidak ada kuliah, saya terkadang silaturrahim ke rumah Yusuf untuk sekadar mengobrol, makan bersama dan juga membuat dumpling atau semacam siomay. Mungkin karena sudah terbiasa hidup jauh dari keluarga, ternyata Yusus tidak hanya jago memperbaiki kerusakan yang ada di pesawat, namun juga pintar memasak makanan khas China. Sesudah masak dan makan bersama, ia mengajak saya salat bersama, ternyata ia belum bisa salat sendiri, masih perlu banyak belajar lagi. Meskipun ia tidak terlalu paham syari`at Islam, tetapi semangatnya dalam menjalankan ibadah perlu kita contoh. Hidup di sebuah negeri menjadi bagian dari minoritas memang tidak mudah, perlu perjuangan ekstra.
Yusuf, Muslim yang belajar Islam di China Foto: Dokumen pribadi |
Maksud perjuangan ekstra di sini bukan berarti ketika beribadah harus sembunyi-sembunyi, karena pemerintah Tiongkok sendiri sudah mengatur kebebasan memeluk agama sesuai keyakinan masing-masing, sehingga tidak ada diskriminasi terhadap agama minoritas. Akan tetapi perjuangan ekstra di sini maksudnya beribadah di China tidak semudah di Indonesia, di Indonesia Masjid dan musholla gampang ditemui dimana-mana, mulai dari perkantoran, mall, tempat wisata, bahkan satu desa ada tiga empat Masjid bahkan mungkin lebih. Jadi, selayaknya kita Muslim yang hidup di Indonesia perlu bersyukur dan tidak perlu teriak-teriak diskriminasi agama atau apalah itu.
Sejak saat itu, saya memberitahunya sedikit bacaan salat yang fardhu dan mudah dihafalkan saja, biar tidak terbebani dengan bacaan yang panjang dan sulit. Sehingga di kemudian hari tidak perlu menunggu orang lain untuk salat. Dan juga memintanya untuk tetap salat dan menjalankan ibadah sebisanya saja.
Pertemuan yang cukup sebentar namun penuh makna di kota Xiamen, membuat saya dan Yusuf terkadang masing saling berkomunikasi, menyambung silaturrahim.
*Artikel ini merupakan kerjasama detik.com dengan PCINU seluruh dunia.