JAKARTA, KOMPAS.com – Tjong Fung Nam atau yang kemudian dikenal dengan nama Tjong A Fie, berlayar dari Kwantung, sebuah provinsi di bagian selatan daratan Tiongkok, ke Hindia Belanda. Kala itu, usianya baru 18 tahun. Namun, kebulatan hatinya untuk mencari kekayaan dan menjadi manusia terpandang tak ada yang bisa menghentikan. Menurut tulisan Benny G Setiono berjudul ‘Mayor Tionghoa Tjong A Fie: Dermawan dari Medan’ dalam buku Tionghoa dalam Pusaran Politik (2003), Tjong A Fie berasal dari keluarga yang amat sederhana. Di masa kecilnya, sehari-hari ia membantu sang ayah mengurusi toko kelontong. Tjong A Fie bahkan meninggalkan bangku sekolah demi membantu menjaga toko. Â Baca juga: Imlek di Rumah Tjong A Fie, Wali Kota Tionghoa Pertama di Medan… Meski hanya mendapatkan pendidikan seadanya, Tjong A Fie tumbuh menjadi pemuda cerdas dan menguasai kiat-kiat dagang dan usaha. Toko kelontong sang ayah maju di tangannya. Ia pun memiliki cita-cita yang lebih besar. Pelayarannya kemudian ke Hindia Belanda, menjadi pembuka pintu kehidupannya yang lain. Terima kasih telah membaca Kompas.com. Dapatkan informasi, inspirasi dan insight di email kamu. Daftarkan email Tjong A Fie bertekad merantau Tjong A Fie berkeinginan untuk mengadu nasib di perantauan. Maka, ia memutuskan meninggalkan kampung halaman dan pergi ke Hindia Belanda hanya dengan berbekal yang 10 Dolar Manchu. Ia berencana menyusul kakaknya, Tjing Yong Hian yang sudah lima tahun menetap di Sumatera. Pada 1880, setelah berbulan-bulan berlayar dengan Kapal Jung, Tjong A Fie tiba di Labuhan Deli. Sebuah kota kecil di pantai timur Sumatera. Tjong A Fie mulai bekerja serabutan Ia tak mau menggantungkan hidup dengan sang kakak yang telah berhasil memupuk kekayaan dan menjadi pimpinan orang Tionghoa yang dihormati. Tjong A Fie memilih memulai langkah dengan bekerja serabutan di toko kelontong Tjong Sui-fo. Ia bertugas melayani pelanggan di toko hingga menagih utang. Â Baca juga: Menelusuri Jejak Etnis Tionghoa di Kalimantan Timur, Berawal dari Menjahit Layar Selama bekerja di toko Tjong Sui-fo, dia kerap berbincang-bincang dengan para narapidana Tionghoa di sebuah penjara setempat di Deli. Toko kelontong Tjong Sui-fo menjadi pemasok kebutuhan penjara tersebut dan Tjong A Fie sering mendapatkan tugas mengantar barang. Tjong A Fie menaruh simpati kepada mereka, karena kebanyakan orang-orang Tionghoa itu dipenjara karena menjadi anggota sebuah organisasi rahasia.
JAKARTA, KOMPAS.com – Tjong Fung Nam atau yang kemudian dikenal dengan nama Tjong A Fie, berlayar dari Kwantung, sebuah provinsi di bagian selatan daratan Tiongkok, ke Hindia Belanda. Kala itu, usianya baru 18 tahun. Namun, kebulatan hatinya untuk mencari kekayaan dan menjadi manusia terpandang tak ada yang bisa menghentikan. Menurut tulisan Benny G Setiono berjudul ‘Mayor Tionghoa Tjong A Fie: Dermawan dari Medan’ dalam buku Tionghoa dalam Pusaran Politik (2003), Tjong A Fie berasal dari keluarga yang amat sederhana. Di masa kecilnya, sehari-hari ia membantu sang ayah mengurusi toko kelontong. Tjong A Fie bahkan meninggalkan bangku sekolah demi membantu menjaga toko. Â Baca juga: Imlek di Rumah Tjong A Fie, Wali Kota Tionghoa Pertama di Medan… Meski hanya mendapatkan pendidikan seadanya, Tjong A Fie tumbuh menjadi pemuda cerdas dan menguasai kiat-kiat dagang dan usaha. Toko kelontong sang ayah maju di tangannya. Ia pun memiliki cita-cita yang lebih besar. Pelayarannya kemudian ke Hindia Belanda, menjadi pembuka pintu kehidupannya yang lain. Terima kasih telah membaca Kompas.com. Dapatkan informasi, inspirasi dan insight di email kamu. Daftarkan email Tjong A Fie bertekad merantau Tjong A Fie berkeinginan untuk mengadu nasib di perantauan. Maka, ia memutuskan meninggalkan kampung halaman dan pergi ke Hindia Belanda hanya dengan berbekal yang 10 Dolar Manchu. Ia berencana menyusul kakaknya, Tjing Yong Hian yang sudah lima tahun menetap di Sumatera. Pada 1880, setelah berbulan-bulan berlayar dengan Kapal Jung, Tjong A Fie tiba di Labuhan Deli. Sebuah kota kecil di pantai timur Sumatera. Tjong A Fie mulai bekerja serabutan Ia tak mau menggantungkan hidup dengan sang kakak yang telah berhasil memupuk kekayaan dan menjadi pimpinan orang Tionghoa yang dihormati. Tjong A Fie memilih memulai langkah dengan bekerja serabutan di toko kelontong Tjong Sui-fo. Ia bertugas melayani pelanggan di toko hingga menagih utang. Â Baca juga: Menelusuri Jejak Etnis Tionghoa di Kalimantan Timur, Berawal dari Menjahit Layar Selama bekerja di toko Tjong Sui-fo, dia kerap berbincang-bincang dengan para narapidana Tionghoa di sebuah penjara setempat di Deli. Toko kelontong Tjong Sui-fo menjadi pemasok kebutuhan penjara tersebut dan Tjong A Fie sering mendapatkan tugas mengantar barang. Tjong A Fie menaruh simpati kepada mereka, karena kebanyakan orang-orang Tionghoa itu dipenjara karena menjadi anggota sebuah organisasi rahasia.
Dalam mengelola usahanya, Tjong A Fie dibantu seorang Belanda bernama Adolf Kamerlingh. Adolf menjadi orang kepercayaan Tjong A Fie. Baca juga: Mengenal Souw Beng Kong, Pemimpin Pertama Etnis Tionghoa di Batavia Pada tahun-tahun berikutnya, Tjong A Fie mendirikan perusahaan kereta api The Caho-Chow & Swatow Railway bersama sang kakak, Tjong Yong Hian. Ia kemudian juga melebarkan usaha ke bidang perbankan dengan mendirikan Bank Deli dan Bank Batavia. Sepanjang hidupnya, Tjong A Fie banyak berbuat sosial dan senang menolong orang miskin. Ia menganggap, uangnya yang mula-mula berasal dari hasil penjualan candu, mesti dikembalikan ke masyarakat. Tjong A Fie membangun klenteng, rumah sakit, bahkan masjid. Masjid Raya Medan merupakan salah satu bentuk rasa hormatnya kepada Sultan Deli Makmoen Al Rasjid dan umat Islam di Medan. Terima kasih telah membaca Kompas.com. Dapatkan informasi, inspirasi dan insight di email kamu. Daftarkan email Baca juga: Mengenal Sejarah di Museum Pustaka Peranakan Tionghoa Ia juga memberikan sumbangan ke sekolah-sekolah dan gereja-gereja. Tjong A Fie berbagi dan menolong tanpa membeda-bedakan agama atau etnis. Tjong A Fie sangat dihormati dan disegani. Tjong A Fie dan peninggalannya… Tjong A Fie meninggal dunia pada 8 Februari 1921 di Medan karena perdarahan otak. Masyarakat Medan berkabung. Ribuan pelayat datang dari berbagai kota. Aceh, Padang, Penang, Malaya, Singapura, dan kota-kota Pulau Jawa. Upacara pemakamannya berlangsung megah dan penuh kebesaran sesuai dengan tradisi dan kedudukannya pada masa itu. Sebelum meninggal, ia telah meninggalkan wasiat agar seluruh kekayaannya diwariskan kepada Yayasan Toen Moek Tong yang harus didirikan di Medan dan Sungkow ketika ia meninggal dunia. Ada lima hal yang ia pesankan untuk Yayasan Toen Moek Tong di Medan. Baca juga: Sejarah Bangunan Tionghoa Tertua di Jakarta Tiga di antaranya memberikan bantuan kepada kaum muda berbakat yang ingin menyelesaikan pendidikan tanpa memandang kebangsaan, memberikan bantuan untuk yang tidak mampu bekerja karena cacat tubuh, dan memberikan bantuan kepada korban bencana tanpa memandang kebangsaan. Sementara itu, dua lainnya menyangkut urusan keluarga. Semua keturunannya baik laki-laki maupun perempuan mendapatkan warisan tanpa kecuali. Namun, pengelolaan yang buruk dan depresi ekonomi dunia kemudian menghancurkan seluruh perusahaan peninggalan Tjong A Fie. Kendati demikian, Tjong A Fie tetap menjadi legenda bagi penduduk Kota Medan. Namanya terus dikenang, bukan saja oleh masyarakat Tionghoa, tapi juga Melayu, India, dan lainnya.