REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA –Pertumbuhan jumlah Muslim Tionghoa semakin pesat setiap tahun. KetuaYayasan Haji Karim Oei (YHKO), Muhammad Ali Karim Oei menjelaskan, perkembangan itu dapat terlihat dari banyaknya masjid yang didirikan oleh warga keturunan Tionghoa. Dia mencontohkan Masjid Ceng Ho yang berada di sejumlah kota besar di Indonesia, termasuk di Surabaya dan Palembang.
(Baca: Jejak Muslim Tionghoa dalam Penyebaran Islam di Nusantara)
Di Jakarta, etnis tionghoa memiliki Masjid Laotze, yang dianggap sebagai representasi berpadunya kebudayaan Cina dan Islam. Keberadaan masjid-masjid ini pun tidak hanya sebatas sebagai rumah ibadah, tapi juga menjadi pusat kegiatan dakwah dan syiar kaum Muslim Tionghoa. Rencananya Masjid Laotze juga akan dibuka di Cirebon guna melengkapi masjid yang telah berdiri di Bandung. Ali pun menyambut baik perkembangan komunitas Cina Muslim di Indonesia.
Syiar Islam yang dilakukan oleh warga Tionghoa sudah tidak lagi dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan hanya diikuti segelintir orang. ”Alhamdulillah, Muslim Cina sudah bangun masjid. Itu patut disyukuri. Perkembangannya juga sudah lumayan. Tidak seperti dulu, mungkin hanya diikuti oleh segelintir orang saja,” kata Ali Karim saat berbincang dengan Republika.
(Baca Juga: Pengusaha Muslim Tionghoa Geliatkan Zakat dan Didik Anak Yatim)
Ali Karim menambahkan, perkembangan itu juga didukung oleh arus informasi yang bergerak dengan sangat cepat. Keberadaan komunitas Muslim Tionghoa di suatu kota, dapat dengan mudah diketahui oleh Muslim di kota lain. Berdasarkan data Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) pada enam tahun lalu, jumlah Muslim Tionghoa terus bertumbuh. Dari 238 juta jiwa penduduk Indonesia, sebanyak 15 persen di antaranya adalah warga negara Indonesia keturunan Tionghoa. Dari jumlah tersebut, lima persen di antaranya merupakan Muslim. Jika dihitung, setidaknya ada 1,8 juta Muslim Tionghoa di Nusantara. Angka ini pun diperkirakan bertambah setiap tahunnya.
Menurut dia, penerimaan masyarakat terhadap Muslim Tionghoa juga lebih baik. Pembauran yang terjadi dengan masyarakat pribumi terjadi begitu mudah. Tidak jarang, bahkan masyarakat lokal cukup senang lantaran mendapati ada orang keturunan Tionghoa yang mampu membaca Alquran dengan baik dan memiliki pemahaman agama yang cukup baik.
Selain itu, Ali Karim menyebutkan, sudah banyak dai-dai keturunan Tionghoa yang tampil di depan publik. Hal ini pun kian menampilkan citra positif terhadap keberadaan komunitas Muslim Tionghoa. Terlebih, dai-dai tersebut merupakan alumni-alumni sekolah agama luar negeri dan pesantren-pesantren ternama di Indonesia.
Namun, Ali Karim memberikan catatan, sebaiknya para dai juga kembali berdakwah di komunitas Cina. Tentunya dengan berbagai pendekatan dan metode penyampaian dakwah yang berbeda. “Kalau bahasanya lembut, bahasanya umum, mereka tentu akan terima. Kan kebanyakan mereka tidak mengerti bahasa Arab, dan bahasa ayat-ayat (Alquran). Jadi, mereka kurang simpati. Cuma masalahnya itu saja, jarang yang berdakwah ke kepada orang Cina itu sendiri. Padahal, itulah syiarnya, sehingga orang-orang Cina lebih banyak yang simpati kepada Islam dan akhirnya masuk Islam,” ujarnya.