Kabar Roger Danuarta, artis berdarah Tionghoa memeluk agama Islam santer beberapa hari terakhir. Kabar artis berusia 36 tahun itu menerima hidayah pun dikonfirmasi Ketua Mualaf Center Indonesia (MCI) Steven Indra Wibowo yang mengatakan, pencatatan syahadat Roger dilakukan di MCI Bekasi.
“Alhamdulillah, Roger Danuarta sudah bersyahadat. Pencatatan saya wakilkan ke MCI Bekasi dengan Pak Sudjangi,” ujar Steven saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (30/10).
Roger mengucapkan kalimat syahadat pada Senin (29/10) malam. Steven mengungkapkan, ia dihubungi sahabat Roger jika putra sulung dari penata rambut terkenal Johnny Danuarta itu, ingin bersyahadat dari beberapa bulan yang lalu. Akhirnya, pada Senin malam kemarin, Roger Danuarta mengucapkan dua kalimat syahadat dengan didampingi Ustaz Insan Mokoginta.
Video Roger bersyahadat juga telah beredar di media sosial. Dalam video tersebut tampak Roger Danuarta mengenakan kemeja dan kopiah. Ia berjabat tangan dengan Ustaz Insan Mokoginta yang menuntunnya mengucapkan kalimat syahadat.
“Bismillaahirrahmaanirrahiim. Asyhadu an La Ilaha Illa Allah wa Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah. Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah,” ucap Roger secara perlahan-lahan mengikuti bimbingan Ustaz Insan.
“Sah ya,” kata Ustaz Insan Mokoginta seusai lafaz syahadat diucapkan Roger.
Bergantinya status Roger menjadi seorang muslim, mengingatkan saya akan pengakuan Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) beberapa tahun lalu. Warga Tionghoa yang masuk Islam, menurut PITI memang meningkat sejak 2001, terutama sejak masuknya sejumlah konglomerat mereka. Namun, jumlahnya masih sangat sedikit dibandingkan yang memeluk agama lain. Sebagai contoh, H Yunus Yahya, pendiri PITI, menyebutkan sejak Perang Dunia II, dua juta keturunan Tionghoa di Indonesia masuk Nasrani.
Drs H Alifuddin el Islamy, seorang juru dakwah dari keturunan Tionghoa, optimistis di masa mendatang lebih banyak lagi keturunan Tionghoa di Indonesia memeluk Islam. Terutama generasi mudanya
Keengganan masyarakat Tionghoa memeluk Islam, menurut Ustaz Alifuddin, akibat politik kolonial Belanda. Sejak awal penjajahan, Belanda mengadakan politik ‘divide et empera’ dengan memisahkan keturunan Tionghoa dan pribumi. Termasuk memberikan kemudahan dan membedakan status sosial mereka.
Seperti dikemukakan Dr Mona Lahonda, pengajar jurusan sejarah UI dan peneliti di Arsip Nasional, sejak awal abad ke-17 sudah banyak para hwakiau (perantau Cina) yang bermigrasi ke Indonesia. Di antara para imigran awal ini termasuk Jan Con (baca: Yang Kong), yang nama Hokiennya adalah Gouw Tjau. Dia adalah seorang Muslim.
Jan Con datang di Batavia bersama sekitar 200 orang keturunan Cina dari Banten. Pimpinan rombongan adalah Souw Beng Kong atau Bencon yang kemudian diangkat oleh Gubernur Jenderal JP Coen sebagai kapiten Cina pertama di Batavia.