KBRN, Denpasar : Kaum Tionghoa di dunia merayakan Tahun Baru Imlek 2572, Jumat (12/2/2021).
Tahun Baru Imlek kali ini terasa berbeda, karena dirayakan di tengah pandemi Covid-19.
Namun kondisi tersebut tak mengurangi makna dan esensi Imlek bagi Kaum Tionghoa di Tanah Air, khususnya di Pulau Dewata.
Mengunjungi sanak saudara tetap dilaksanakan. Tradisi angpau juga masih berjalan. Bedanya, silaturahmi dan pemberian bingkisan dalam amplop merah berisikan sejumlah uang itu dilaksanakan secara virtual atau digital.

Ketua Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Provinsi Bali, Mulyono Lee berpandangan, Imlek bukanlah perayaan bagi umat tertentu. Tahun Baru Imlek merupakan perayaan untuk seluruh umat beragama, khususnya warga berdarah Tionghoa.
“Menurut pandangan kami, Imlek itu sebetulnya bukan hari raya, tapi tahun baru. Artinya tidak ekslusif bagi agama tertentu. Kalau ternyata itu disebut hari raya, karena mayoritas orang Tionghoa itu kan agamanya Khonghucu, dan ada yang Buddha,” ungkap Mulyono Lee dalam Talk Show ‘Merayakan Imlek Dalam Keharmonisan’ yang disiarkan langsung di channel Youtube Aswaja Dewata.
“Karena sudah berabad-abad, turun temurun, jadi seolah-olah ini menjadi hari raya, karena ini dirayakan mayoritas oleh orang Khonghuju. Padahal ini sebenarnya ini tahun baru. Contohnya Tahun Baru Hijriah, di Negara Timur Tengah kan tidak hanya dirayakan orang Muslim. Jadi pandangan saya (Tahun Baru Imlek) tidak bertentangan dengan akidah kita,” sambungnya.
Mulyono mengatakan, seluruh warga Tionghoa berkewajiban melestarikan tradisi Imlek. Tradisi tersebut diantaranya bersilaturahmi dengan saudara, dan kerabat yang merayakan Imlek.
Ia mencontohkan, di keluarga besarnya dengan berbagai latar belakang Agama, selalu melalukan silaturahmi ketika Tahun Baru Imlek.
Hal ini disebut wujud saling menghargai serta menghormati, dan sejalan dengan ajaran sekaligus perilaku yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW.
“Kita terlahir sebagai orang Tionghoa itu kan takdir ya. Sedangkan kita beragama apa, orang masih bisa memilih. Kita saling menghormati dan saling mengunjungi. Karena apapun pilihan Agama kita, tetapi tali persaudaraan, hubungan darah tidak bisa dihilangkan. Di keluarga Nabi Muhammad sendiri pun terjadi seperti itu, itu kan contoh buat kita. Jadi kita mencontoh apa yang sudah dicontohkan Nabi besar kita, dengan kita harus saling menghormati, walaupun keluarga itu beda keyakinan” ujarnya.
Mulyono Lee pada kesempatan itu menyampaikan, PITI Bali berkewajiban menunjukkan Islam sebagai Agama yang penuh kebaikan. Melalui pembuktian itu, secara tidak langsung akan membuka mata dan hati orang-orang yang selama ini tidak paham terhadap ajaran Islam.
“Seringkali kekhawatiran di keluarga Tionghoa, kalau ada salah seorang anggota keluarganya masuk Islam, yang paling dikhawatirkan adalah dia akan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan, melupakan leluhur. Kita buktikan, dengan menjadi Muslim, justru lebih sayang ke keluarga, lebih bisa menjaga tradisi leluhur kita,” ucapnya.
“Karena setelah saya pelajari, ternyata banyak sekali yang tidak bertentangan. Di Islam pun diajarkan bagaimana kita harus menghormati leluhur. Kalau memang banyak kesamaan, ya sudah kita semakin tunjukkan. Dengan seperti itu, kalau kita bisa membuktikan bahwa menjadi orang yang lebih baik setelah kita masuk Islam, disinilah kita sekaligus berdakwah,” pungkasnya.