MUHAMMADIYAH.ID, JAKARTA – Oey Tjeng Hien atau Abdul Karim Oey adalah contoh manusia yang berusaha menjalankan ketakwaannya secara nyata. Hidup dengan menghayati Al-Ma’un, Oey Tjeng Hien tidak hanya berjihad menghapus sekat antara kelompok muslim dan keturunan Tionghoa, tapi juga berdiri tegak menentang penjajah bersama tokoh Muhammadiyah, Mas Mansur, Soekarno dan Buya Hamka.
Nasionalis Moderat
Ketika Oey Tjeng Hien lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat pada 6 Juni 1905, Hindia Belanda memiliki sekat sosial serius. Konsep satu bangsa belum sepenuhnya tumbuh.
Apalagi, dampak Regerings Reglement VOC sejak tahun 1854 yang membagi secara yuridis penduduk Hindia Belanda berdasarkan etnis: Europeanen (Eropa), Inlander (pribumi), dan Vreemde Oosterlingen (orang asing dari Tionghoa, India, Timur Tengah) semakin meruncingkan sekat sosial.
Sementara itu nama ‘Indonesia’ yang dilemparkan oleh James Logan pada 1850 melalui The Journal of The Indian Archipelago and Eastern Asia baru populer dan digunakan sebagai satu kesadaran kebangsaan 70 tahun kemudian.
Oey Tjeng Hien mungkin hidup dalam bayang-bayang stereotip sebagai orang “asing” atau “non-pribumi.” Tapi ia berkiprah dalam banyak hal. Ia mendirikan dan menggerakkan beberapa organisasi lintas komunitas. Ia mendirikan Tionghoa Hiapsianghew dan Tanah Air Sendiri (TAS) yang mempererat persaudaraan dengan kelompok Inlander.
RELATED POST
Pengalaman Penderitaan Penjajahan Membuat Indonesia Setia Mendukung Palestina
Ini 4 Rekomendasi Ketum PP Áisyiyah di Milad 104 Tahun
Oey Tjeng Hien Memeluk Islam
Inlander sendiri atau penduduk pribumi identik dengan dua hal: suku Melayu dan Islam. Oleh orang Tionghoa, seringkali orang Islam dianggap sebagai orang Melayu, meskipun berasal dari suku berbeda. Stigma semacam inilah yang kelak membuat Oey Tjeng Hien dijauhi oleh keluarganya ketika memeluk Islam pada usia antara 22-23 tahun.
“Ananda adalah orang yang mampu, orang keturunan baik-baik mengapa mau masuk suku Melayu, pakaian jorok dan serba buruk itu,” demikian tanya Oey Tiang Seng, ayah Oey Tjeng Hien sebagaimana ditulis Leo Suryadinata dalam buku Tokoh Tionghoa dan Identitas Indonesia (2010).
Oey Tjeng Hien masuk Islam sekitar tahun 1928 ketika telah berhasil menjadi pedagang sukses dan menetap selama dua tahun di Bintuhan. Setelah masuk Islam, namanya dikenal sebagai Abdul Karim Oey.
Bergabung Muhammadiyah
Nama Abdul Karim, menurut penelurusan pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB) Andi Ryanshah merupakan pemberian dari Syaikh Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) atau ayah dari sahabatnya kelak, yaitu Buya Hamka. Tak lama setelah mualaf, Oey Tjeng Hien bergabung dengan Muhammadiyah.
Besar kemungkinan Oey Tjeng Hien bergabung dengan Muhammadiyah melalui tangan Haji Rasul. Sebab, selain Haji Rasul merupakan ulama kenamaan di Sumatera Barat masa itu, Haji Rasul juga telah menjadi bagian penyebar Muhammadiyah generasi pertama di tanah Sumatera bersama menantunya, Ahmad Rasyid Sutan Mansur pada tahun 1925.
Argumen ini dikuatkan oleh temuan Alfian dalam Muhammadiyah: The Political Behaviour of a Muslim Modernist Under Dutch Colonialism (1989) yang mencatat bahwa Muhammadiyah sebagai gerakan reformis agama, pelaku perubahan sosial dan kekuatan politik datang di Minangkabau pada 1925 salah satunya melalui Haji Rasul.
Kader Muhammadiyah Sejati
Di Bintuhan, Oey Tjeng Hien memelopori pendirian Muhammadiyah, pengkaderan, dan semua aktivitas pergerakan dengan biayanya sendiri. Akibatnya, Oey menjabat sebagai ketua Konsul Muhammadiyah Bintuhan.
Alih-alih mengamankan bisnisnya yang telah berjaya sebagaimana pengusaha Tionghoa lain dengan mendekati pemerintah Kolonial dan para ambtenaar, Oey lebih memilih memperjuangkan hartanya untuk membela kaum dhuafa setempat yang terperangkap oleh sistem ekspolitasi riba dan ijon.
Dalam otobiografinya, Abdul Karim (Oey Tjeng Hien), Mengabdi Agama, Nusa dan Bangsa (1982) ia mengisahkan bahwa dirinya kerap membantu para petani dengan pinjaman uang untuk keluar dari perangkap itu.
Ghirah Keislaman Oey juga cukup tinggi. Herry Nurdi dalam Jejak Freemason dan Zionis di Indonesia (2006) mencatat bahwa Oey membakar mobil Fiat pabrikan Italia yang dimilikinya sebagai protes simbolik atas eksekusi ulama Libya Umar Mukhtar oleh Benitto Musollini.
Di dalam otobiografinya, Oey Tjeng Hien pun sempat mencatat keheranan Letnan van den Berg atas pilihannya bergabung dengan kaum Nasionalis Islam memperjuangkan kemerdekaan.
Menolak Tawaran Belanda, Dibuang ke Digul
“Orang-orang Tionghoa biasanya pedagang. Tetapi tuan menjadi orang politik. Sekarang sudah masuk penjara. Apa keuntungannya? Kalau tuan mau bekerjasama dengan Belanda, bisa saya usulkan tuan menjadi agen perusahaan-perusahaan Belanda seperti Borsumij, Internatio, Tels, atau agen Geo Wehry. Itukan suatu keuntungan besar?”
Oey menjawab, “Saya banyak mengucap terima kasih atas anjuran tuan yang baik itu. Tetapi saya tidak bisa terima. Saya berjuang membela agama, bangsa, dan negara dari muda sampai sekarang. Saya sudah menempuh berbagai kesulitan dan beberapa kali masuk penjara. Sampai-sampai mau dibuang ke Digul.”
“Kalau begitu tuan bisa dihukum lebih berat dan dibuang lebih jauh,” ancam Van Den Berg.
“Terserah. Tuan punya kekuasaan!” jawab Oey.
Oey Tjeng Hien menegaskan bahwa menjadi muslim yang bertakwa adalah dengan mengamalkan ajaran cinta tanah air sebagaimana pernyataannya dalam Majalah Tempo (23 Februari 1972) yang berbunyi, “Orang yang benar-benar muslim harus cinta tanah air dan cinta pribumi.”
Bersahabat dengan Soekarno
Memiliki perusahaan yang maju, Oey sering melakukan perjalanan bisnis ke pulau Jawa. Perjalanannya itu dia manfaatkan untuk membeli buku-buku tentang Islam dan berkenalan dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional, termasuk Soekarno.
Antara tahun 1930-1931, Oey bertemu Soekarno untuk pertama kali di Bandung ketika Soekarno sedang menjalani pengasingan di Penjara Sukamiskin. Pertemuan dan persahabatan dimulai ketika Soekarno dipindahkan dari pengasingannya dari Ende ke Bengkulu pada 1938.
Atas paksaan Soekarno yang saat itu aktif di Majelis Pengajaran Muhammadiyah Bengkulu, Oey Tjeng Hien akhirnya rela meninggalkan Bintuhan untuk tinggal di Bengkulu membesarkan Persyarikatan Muhammadiyah.
“Kau tidak boleh lepas lagi dari saya, kau cocok dengan saya, kita berdua harus saling berdampingan dan saling membantu,” demikian pernyataan Soekarno yang dicatat oleh Oey dalam otobiografinya (1982).
Lebih jauh, Soekarno menganggap Oey sebagai saudaranya. Oey memiliki andil besar dalam pernikahan antara putri Muhammadiyah, Fatmawati dengan Soekarno.
Oey Tjeng Hien Bertemu Buya Hamka
Tak lama di Bengkulu, Oey menjabat sebagai Konsul Muhammadiyah dan menjadi tokoh sentral penyebaran dakwah Muhammadiyah selama 14 tahun. Di Bengkulu pula, Oey bertemu dengan anak dari ulama yang memberinya nama Abdul Karim, yaitu Hamka.
“Telah 50 tahun kami berkenalan, sama faham, sama pendirian dan sama-sama bersahabat karib dengan Bung Karno,” demikian catat Hamka dalam brosur “Dakwah dan Asimilasi” (1979).
Amal Jihad Oey Tjeng Hien utamanya tercatat ketika menjadi ketua Penolong Korban Perang (Pekope) di masa pendudukan Jepang, dan mengorganisasi dukungan masyarakat untuk melawan Belanda dalam Agresi Militer Belanda ke-2 yang membuatnya diburu dan berulangkali dirinya berhasil lolos dari maut.
Atas nasionalismenya itu, Oey mengisahkan bahwa dirinya juga sempat mengecap delapan bulan kurungan rumah setelah meyakinkan masyarakat untuk menolak gagasan Negara Federal pemerintah Belanda.
Di Sumatera, Oey sempat menjadi Konsul Muhammadiyah Sumatera (1944-1946). Di Muhammadiyah, Oey juga sempat menjabat sebagai Majelis Tanwir Muhammadiyah (1952–1973) dan Ketua Dewan Ekonomi Muhammadiyah (1964–1973).
Menjadi tokoh nasional, Oey berusaha menggunakan posisinya untuk merobohkan sekat di dalam bangsa Indonesia, yaitu antara kelompok keturunan dan kelompok pribumi (Islam).
Mendirikan Persatuan Islam Tionghoa
Setelah Belanda berhasil diusir dari Tanah Air, Oey Tjeng Hien menuturkan dalam otobiografinya bahwa dirinya mendapat pesan khusus dari Adik Nyai Dahlan yang menjabat sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, yaitu Kiai Ibrahim.
“Saya minta Oey Tjeng Hien, saya titipkan pada Saudara untuk menghadapi keluarga kita orang-orang Tionghoa itu. Mengapa orang bisa merangkul, kita tidak? Sedangkan agama kita benar dan hak,” demikian catatnya dalam Abdul Karim (Oey Tjeng Hien), Mengabdi Agama, Nusa dan Bangsa (1982).
Wasiat Kiai Ibrahim mendasari berdirinya Persatuan Islam Tionghoa (PIT) pada 1953. Namun, dalam perjalanannya PIT melebur bersama Persatuan Muslim Tionghoa menjadi Persatuan Islam Tionghoa Indonesia pada 14 April 1961.
Didukung Buya Hamka, gerak PITI berhasil meluas memperkenalkan Islam di kalangan Tionghoa. Selain dakwah Islam, misi utama PITI adalah menyempitkan jarak sosial antara kelompok Tionghoa dan non-Tionghoa.
Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya Jilid 2 (2004) menulis bahwa Oey Tjeng Hien berkeyakinan bahwa cara terbaik menyatukan dua kelompok yang tersekat oleh warisan imaginer Inlander (pribumi) dengan Vreemde Oosterlingen (orang asing) adalah dengan Islamisasi.
Ketegangan dengan Rezim Soeharto
Hambatan utama justru muncul ketika Soeharto berkuasa, sekat sosial berusaha dihidupkan kembali. Sentimen pribumi dan non-pribumi kembali dihidupkan sebagaimana penjelasan Amy Freedman dalam Political Institutions and Ethnic Chinese Identity in Indonesia (2003).
Akibatnya, PITI sempat dibubarkan pada tahun 1972, sebelum akhirnya lahir kembali dengan nama PITI (Pembina Iman Tauhid Islam) untuk mensiasati kelanjutan dakwah di kalangan Tionghoa.
Melalui program-program PITI seperti penerjemahan Alquran bahasa Mandarin dan dakwah kultural, Oey Tjeng Hien berjasa besar dalam memperkenalkan Islam kepada etnis Tionghoa, selain mempersempit sekat antara kelompok Tionghoa dan etnis lainnya.
Perjuangan dakwah Oey Tjeng Hien berakhir pada usia 83 tahun. Dirinya yang juga dikenal sebagai Abdul Karim Oey wafat pada 16 Oktober 1988. Sebagai penghargaan atas jasa besarnya, berbagai lembaga Islam mendirikan Yayasan Haji Karim Oei tiga tahun kemudian.
Bersama PITI, Yayasan ini sampai tulisan ini ditulis telah memprakarsai lebih dari 10 masjid Tionghoa yang tersebar di seluruh Indonesia dan mengislamkan ribuan warga Tionghoa.
Abdul Karim Oey tak sempat menikmati perjuangan dakwahnya yang dipuncaki oleh Presiden Habibie melalui Inpres No. 4 tahun 1999 dan Inpres No. 26 Tahun 1998 yang membuka ruang ekspresi Tionghoa dan pelarangan penggunaan kata dikotomis ‘pribumi’ dan ‘non-pribumi’ oleh pejabat publik.
Pertanyaan yang tersisa adalah, apakah kata dikotomis ‘pribumi’ dan ‘non-pribumi’ saat ini masih anda dengar? Dan apakah PITI masih menjalin sinergitas gerakan dakwah dengan Muhammadiyah?
Kalau jawabannya adalah ya untuk pertanyaan yang pertama dan tidak untuk pertanyaan kedua, maka kencangkanlah ikat pinggang untuk kembali menyusuri jalan dakwah Oey Tjeng Hien yang telah tertutupi rimbunnya ilalang.
Wallahu a’lam.
Editor: Fauzan AS