Nenek moyang orang Tionghoa di Indonesia adalah perantau. Tak bisa makan kalau tak bekerja keras. Dari situ, banyak kiat sukses yang bisa dicontoh.
———————–
Lulus Sekolah Rakyat, tahun 1959, Trisno Adi terpaksa menutup buku sekolah untuk selama-lamanya. Di usia 14 tahun, bocah kelahiran Gambangan, Bondowoso, Jawa Timur itu harus menanggung beban hidup keluarga. Ia anak sulung dari lima bersaudara keluarga Tionghoa. Mau tak mau, tanggung jawab ini mesti diemban lantaran Sang Bapak telah tiada.
Trisno nekad berangkat ke Jakarta, meski ia tahu mengadu nasib di Ibu Kota bukan perkara mudah. Jual telur ayam, itulah pilihan dagang pria keturunan Tionghoa ini. Tak puas di Jakarta, ia merantau lagi dan hidup tidak menetap. Tempat yang acap disinggahi yaitu Cirebon, Bandung, dan Solo. Bukan hanya telor ayam, ia juga berjualan kain asongan di kota-kota itu.
Tahun 1963, pria yang lahir tanggal 26 April 1945 itu kembali ke kampung halaman. Mengapa? “Kita kan orang daerah, punya kewajiban untuk membangun daerah,” katanya. Pada usia yang masih belia itu, ia mendirikan Usaha Dagang (UD) Trisno Adi, yang bergerak di bidang pemasaran tembakau. Usaha ini juga untuk meningkatkan perekonomian petani tembakau di daerah sekitar Bondowoso. Inilah titik tolak karir kesuksesannya.
Trisno hanyalah satu di antara orang Tionghoa yang selalu dihubungkan dengan kesuksesan secara ekonomi. Sifat pantang menyerah, kerja keras, tak gampang putus asa, dan lihai berdagang adalah karakteristik yang biasa disematkan kepada orang-orang Tionghoa. Hampir seluruh pasar, baik tradisional ataupun modern, di penjuru tanah air tak luput dari usaha dagang milik etnis ini. Ada pasar, ada orang Tionghoa. Begitulah adagium yang berkembang. Benarkah karakter itu bersumber dari etnis Tionghoa di Tiongkok?
“Tidak!” tandas pengusaha tembakau itu yang kini sebagai ketua umum Perhimpunan Islam Tionghoa Indonesia (PITI). Menurutnya, semua orang adalah sama. Mau Tionghoa, Jawa, Sumatra, atau yang lain. Yang membikin berbeda adalah semangat sebagai orang perantauan. “Dulu, nenek moyang kita kan orang perantau. Jadi tak bisa makan kalau tidak bekerja keras. Berbeda dengan pribumi yang santai-santai saja,” tambahnya.
Mendiang Benny G. Setiono, mantan ketua umum Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) Jakarta bernada sama. Ia menyangkal kalau etos kerja itu berasal dari etnis Tionghoa di negara asal, Tiongkok alias Cina. “Di sana mereka petani miskin kok. Di sini kan sebagai perantau,” tuturnya. Menurut pria kelahiran Kuningan, Jawa Barat, 1943 ini semangat itu karena semata-mata sebagai orang perantau, dan perantau itu biasanya lebih unggul dan lebih cakap karena punya semangat yang kuat. Jika lemah, ia pasti akan tergilas.
Etos inilah yang diwariskan turun-temurun oleh leluhur Tionghoa di Indonesia hingga kini. Apa saja itu?
Pertama, cermat memilih dan hidup hemat. Orang Tionghoa biasanya mengamati dulu kebutuhan masyarakat sekitar sebelum menentukan pilihan investasi. Bila mau mendirikan usaha atau pabrik, pasti sebelumnya telah mempelajari ke mana arah produksi akan dijual, atau bahkan telah mengantongi pesanan.
Jadi, sinyalemen orang Tionghoa berhasil dalam investasi lantaran suka berspekulasi itu tak sepenuhnya benar. Bagi orang Tionghoa, Prinsip investasi mencakup pula kepastian sukses dan tidak sekadar keberanian untuk mencoba-coba.
Ini pernah dijalani Trisno. Tahun 1989, ia ekspansi ke Nusa Tenggara Barat (NTB), mendirikan CV. Trisno Adi. Tepatnya di jalan Tembuak, Narmada, Lombok Barat. Tak asal spekulasi, ia memilih lokasi ini karena pertimbangan potensi tembakau di wilayah itu. Tembakau di NTB kala itu masih minim, dan rakyatnya tergolong miskin. Padahal sebenarnya menyimpan potensi besar. Karena itu, ia membuka usaha di sana, sembari memberdayakan ekonomi para petani. “Alhamdulillah, petani di sana sekarang sudah pada haji semua,” kisahnya.
Beriringan dengan itu, hidup hemat juga menjadi prasyarat sukses. Misal, bagi orang yang penghasilannya 1000 rupiah. Kalau untuk makan 40 rupiah, maka sisanya disimpen untuk investasi di hari kemudian. “Kalau pribumi bukan. Dapat seratus mau makan dua ratus. Tapi, kalau lagi kaya, ada orang cantik matanya melirik. Kawin lagi. Kalau gak punya uang lalu dicerai,” sindir Trisno sambil tertawa terkekeh.
Kedua, gigih bertahan dan setia kawan. Goncangan bisnis pernah dirasakan Trisno di tahun 1998. Krisis ekonomi menerjang usahanya, hingga omsetnya turun lebih dari 50 persen. Tapi, berkat kegigihannya, ia berhasil bangkit.
Apapun yang terjadi, orang Tionghoa biasanya tetap berusaha berproduksi, meski berkapasitas minim. Ini bisa diantisipasi, misalnya, dengan modal cadangan untuk mencari peluang bangkit. Mengapa harus bertahan? Ada pameo menarik di kalangan Tionghoa, “Bila semua pabrik celana dalam gulung tikar, pabrik orang Tionghoa yang bertahan tentu akan menyapu bersih permintaan pasar. Sebab orang tetap harus pakai celana dalam, bukan?”
Selain itu, kawan juga sangat membantu dalam tradisi Tionghoa perantauan.
Biasanya, sebelum ke bank, orang tionghoa mendatangi temannya dulu. Utang dalam lingkungan kawan sendiri itu bukan masalah besar, yang penting nanti dikembalikan. Agar dapat melakukan ini, perlu kepercayaan. Karenanya, persahabatan dan persaudaraan sesama Tionghoa begitu erat. Hal ini juga dikembangkan di luar etnis Tionghoa. “Saking akrabnya dengan masyarakat NTB, identitas Tionghoa saya seakan lenyap. Saya malah dianggap bagian dari suku Sasak,” kenangnya.
Ketiga, berfikir panjang. Hidup itu bukan hanya untuk sesaat. Tapi, sebuah lika-liku perjuangan panjang, yang akan diteruskan anak cucu. Apa yang ditanam hari ini, itulah yang akan dipanen esok. Begitu pula dengan investasi, harus berjangka panjang untuk kepentingan masa depan. Orang Tionghoa tidak mudah tergiur keuntungan sesaat. Tapi, berfikir berkali-kali lipat dalam mengambil sebuah keputusan.
Karena cita-cita yang tinggi itu, orang Tionghoa selalu mewariskan tradisi leluhurnya secara turun-temurun. Bagaimana cara mendidik anak-anak supaya melestarikan tradisi? Tidak perlu diajari secara khusus, tapi seorang anak bisa langsung melihat tingkah laku orang tuanya. Jadi, bukan semua orang Tionghoa itu sukses dan pinter berdagang, tergantung bagaimana orang tua itu memberi teladan kepada anak-anaknya. “Kalau orang tuanya pencopet, anaknya belajar nyopet,” kelakarnya.
Pria yang memeluk Islam tahun 1988 itu berpendapat, spirit di atas tak ada hubungannya dengan agama yang dianut. Tapi, spirit Islam berperan dalam hal mengelola rizki yang diperoleh dari sisa hasil usaha. Misalnya, dalam surat al-Humazah ayat 1 sampai 4 Allah menegaskan, “Celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela. Yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya, sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam neraka.”
Harta hasil usaha itu tak boleh hanya disimpan untuk diri sendiri saja. Tapi juga harus disedekahkan kepada orang-orang di sekitar yang membutuhkan. Katanya harus hemat? Ya, hemat itu harus. Bersedekah kepada anak yatim, bukan termasuk boros. Bersedekah di sini bukanlah paksaan, namun disesuaikan dengan kemampuan “Kalau tidak punya prinsip ini, orang merasa enak dengan diri sendiri, lupa dengan orang lain,” katanya.
Kini, usaha Trisno kian pesat. Jika pada periode awal Trisno hanya bisa menghasilkan 10 ton tembakau per bulan, kini sedikitnya 30 ribu ton diperoleh per bulan. Dulu ia hanya memasok pabrik Sampoerna, kini menjangkau hampir semua pabrik rokok di Nusantara. “Di mana ada perusahaan perlu tembakau, pasti saya datang,” ujar pria yang bernama asli Tan Tjun Tek itu.
Abdullah Ubaid, Penulis adalah Pimpinan Umum NU Online Banten