Bagi mereka yang hidup di dekade 60-an, etnis Tionghoa identik dengan kemiskinan, kemunduran, dan keterbelakangan. Mereka menggambarkan China sebagai negeri yang dipenuhi orang-orang miskin, anak-anak muda revolusioner yang naif, dan kediktatoran tangan besi yang kejam dan ambisius. Gambaran ini kemudian semakin meluas dan paten tatkala hadir dalam pandangan masyarakat Indonesia secara umum.
Bagaimana tidak? Selama 32 tahun pemerintah Indonesia yang dipimpin oleh rezim Orde Baru terus melanggengkan gambaran buruk tentang etnis Tionghoa. Apalagi ketika negara itu menganut sistem pemerintahan komunis, sebuah sistem pemerintahan yang menjadi musuh besar Orde Baru. Maka tidak heran jika sebagian besar masyarakat Indonesia hingga hari ini selalu mencitrakan etnis Tionghoa dengan citra yang buruk disertai sikap diskriminasi dalam berbagi sektor seperti, perayaan hari besar, pendidikan, perkawinan, dan agama.
Hal ini tidak lepas dari propaganda Orde Baru yang sedikit pun tidak pernah memberi ruang kepada masyarakat untuk mengetahui lebih dalam etnis Tionghoa. Segala hal yang berbau Tionghoa pun diberangus sedemikian dahsyat seolah-olah etnis Tionghoa adalah musuh abadi yang tidak termaafkan. Terlebih lagi saat-saat ini ketika mengetahui bahwa China (sebagai sebuah negara) telah memporak-porandakan kehidupan melalui virus yang menyebar ke penjuru dunia. Sehingga kebencian terhadap negara itu semakin meningkat tajam dengan berbagai komentar yang liar melalui kanal-kanal media sosial.
Bahkan jauh sebelum Orde Baru menjadi sistem negara selama 32 tahun. Kebencian masyarakat Indonesia yang diwakili oleh tokoh-tokoh nasionalis, golongan Tionghoa sering dinilai secara hitam-putih, sebagaimana pendapat dr. Abu Hanifah, seorang tokoh nasionalis sebagai berikut:https://googleads.g.doubleclick.net/pagead/ads?client=ca-pub-8120110524501760&output=html&h=191&slotname=2903470481&adk=3623841633&adf=3749971047&pi=t.ma~as.2903470481&w=763&fwrn=4&lmt=1621410858&rafmt=11&psa=0&format=763×191&url=https%3A%2F%2Fartikula.id%2Fdimassigitcahyo%2Fmemandang-etnis-tionghoa-melalui-kacamata-persaudaraan%2F&flash=0&wgl=1&uach=WyJtYWNPUyIsIjEwXzE0XzIiLCJ4ODYiLCIiLCI5MC4wLjQ0MzAuMjEyIixbXV0.&dt=1621410857314&bpp=3&bdt=2213&idt=779&shv=r20210517&cbv=%2Fr20190131&ptt=9&saldr=aa&abxe=1&prev_fmts=0x0%2C1200x280%2C763x191&nras=1&correlator=4414687035262&frm=20&pv=1&ga_vid=870336659.1621410858&ga_sid=1621410858&ga_hid=1193226810&ga_fc=0&rplot=4&u_tz=420&u_his=1&u_java=0&u_h=900&u_w=1440&u_ah=900&u_aw=1440&u_cd=24&u_nplug=3&u_nmime=4&adx=104&ady=2098&biw=1367&bih=679&scr_x=0&scr_y=0&eid=31060956%2C31061138%2C21066612&oid=3&pvsid=3539871361042523&pem=350&eae=0&fc=1920&brdim=58%2C23%2C58%2C23%2C1440%2C0%2C1382%2C815%2C1382%2C679&vis=1&rsz=%7C%7CeEbr%7C&abl=CS&pfx=0&fu=128&bc=31&ifi=4&uci=a!4&btvi=2&fsb=1&xpc=dMc4hhThGu&p=https%3A//artikula.id&dtd=788
“… sebagian besar Tionghoa di Indonesia benar-benar tidak mempunyai loyalitas. Pada zaman Belanda mereka bersikap pro-Belanda. Pada saat Jepang menjadi tuan, mereka berkawan dengan Jepang. Kemudian datanglah revolusi dan mereka bersikap baik kepada kita. Akhirnya yang bisa dikatakan hanyalah bahwa mereka ini adalah kaum opotunis yang tidak bisa diperbaiki”(Daradjadi, 2017).
Tentu hal ini secara tidak langsung telah menguburkan fakta-fakta sejarah mengenai hubungan antara masyarakat Indonesia dan etnis Tionghoa itu sendiri di masa lampau. Padahal jika mengacu kepada fakta-fakta sejarah telah memperlihatkan bagaimana hubungan antara masyarakat Indonesia, khususnya Jawa dengan etnis Tionghoa telah berjalan secara damai. Tionghoa di Jawa bukan “bangsa kemarin”, Tionghoa memang “bangsa pendatang” untuk masa lalu, kemudian Tionghoa dan Jawa adalah dua etnis yang hidup dalam satu bangsa.
Jawa sejak abad ke-14, pada zaman kerajaan Majapahit sudah mengenal bangsa China, baik sebagai bangsa dalam pengertian sebenarnya, maupun produk kultur. Bangsa China berinteraksi dengan Jawa melalui perdagangan. Ini artinya China dan Jawa telah memiliki sejarah hidup bersama. Orang-orang Jawa terutama kalangan atas – telah terbiasa dengan barang-barang mewah yang diimpor dari China, seperti porselin, kain suteran dan lain sebagainya.
Bahkan pada saat perang Diponegoro (1825-1830), interaksi China dan Jawa berjalan begitu intim dalam bentuk menyediakan kebutuhan uang, perak, senjata, candu, dan sesekali orang-orang China peranakan yang datang ke Jawa ikut bertempur dan saling membantu. Sepanjang masa-masa berikutnya, interaksi di antara orang-orang China dengan keraton dan kerajaan-kerajaan Jawa berjalan sangat baik. Bagi kalangan keraton, orang-orang China dibutuhkan sebagai penyedia uang pinjaman, ahli perdagangan, dan pengelola keuangan yang terampil.
Selain itu, terdapat pula beberapa petunjuk yang menyatakan bahwa telah terdapat perkawinan di antara golongan priyayi Jawa dengan orang-orang China. Bahkan sejak 1808 masyarakat China yang menetap di sekitar Kraton Kasunanan Surakarta telah membaur dengan cara-cara kehidupan masyarakat Jawa. Dan di dalam kerangka kerajaan Mataram Islam, Masyarakat China mendapatkan perlakukan khusus hukum, dengan terbitnya undang-undang yang menetapkan denda (diyat) yang dijatuhkan atas pembunuhan seorang China adalah dua kali lipat lebih besar daripada denda yang dibayar atas pembunuhan terhadap orang Jawa.
Dan jauh dari sekedar melakukan perdagangan di kawasan Nusantara yang kelak bernama Indonesia. Peran besar yang dimainkan oleh bangsa China adalah dakwahnya di dalam proses islamisasi. Hal itu terwujud tatkala pada pertengahan pertama abad ke-15, Kaisar Zhu dari Dinasti Ming Tiongkok mengutus suatu armada raksasa untuk mengadakan kunjungan muhibah ke laut Selatan. Armada itu dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho (Sam Po Kong). Ekpedisi yang dipimpin Cheng Ho bukan saja bermuatan politik dan ekonomi tetapi juga proses islamisasi.
Islamisasi yang dilakukan oleh Cheng Ho sendiri, cukup akulturatif, karena berkat peran yang dibawanya pernah menciptakan sebuah harmoni di tengah masyarakat Jawa kala itu yang ditandai dengan akulturasi antara nilai-nilai Tiongkok, Jawa, dan Islam secara harmonis (Sino-Javanese Muslim Cultures).
Jejak akulturasi yang harmoni dari Sino-Javanese Muslim Cultures ini pun masih ditemukan sampai saat ini. Salah satunya yang terdapat di Masjid Gedhe Mataram, Kotagede Yogyakarta. Bangunan serambi masjid menggunakan talang dari plat besi berbentuk cekung setengah bola. Teknik talang dengan material besi dimungkinkan merupakan teknologi dari pertukangan China. Hal ini mirip dengan bangunan kuil Sam Po Kong di Semarang (Setyowati, 2017).
Bahkan sesudah melewati fase masa lampaunya. Hubungan baik antara masyarakat Indonesia dan etnis Tionghoa masih terus berlanjut pada masa kemerdekaan Indonesia. Hal itu ditandai dengan adanya hubungan bilateral Indonesia dengan Republik Rakyat China yang terjadi pada tahun 1950-1967. Pada tahun 1953 untuk pertama kalinya Indonesia mengirimkan duta besarnya untuk Republik Rakyat China (RRC) sebagai tanda awal eratnya hubungan Indonesia dengan RRC.
Hubungan yang begitu erat pun mendapat sambutan baik hingga tak dapat dipungkiri lagi bahwa masa itu disebut sebagai masa “bulan madunya Indonesia dengan China”. Dan puncaknya terjadi saat Konfrensi Asia Afrika (KAA) dengan kehadiran perdana menteri Republik Rakyat China Zhou Enlai ke Bandung pada 18-25 April 1955.
Perdamaian Sebagai Titik Persaudaraan
Dengan melihat secara umum gambaran mengenai peran serta hubungan besar etnis Tionghoa dan bangsa China di Indonesia. Maka tidak elok jika kita sebagai bangsa yang selalu mengusung jargon toleransi memandang sebelah mata saudara-saudara kita yang beretnis Tionghoa. Apalagi hanya berdasarkan asumsi-asumsi kebencian yang tak berdasar. Saat ini China sebagai sebuah bangsa dengan kekuatan ekonomi terbesar kedua setelah Amerika Serikat telah memainkan peran global yang begitu mengagumkan. Tentakel-tentakelnya pun telah berkembang pesat ke seluruh penjuru dunia akibat peran globalisasi yang menghilangkan sekat-sekat ruang dan waktu. Sehingg hubungan serta interaksinya semakin dekat dan berbeda dari masa lampau.
Oleh karena itu, perdamaian sebagai cara pandang, sikap hidup, dan perilaku sudah seharusnya sebagai titik berangkat kita dalam bergaul dengan yang lain sebagai bagian dari persaudaraan. Hal itu bukan tanpa alasan sebab dengan perdamaian yang kita bangun sejak dalam pikiran, implikasinya akan jauh bermanfaat sebagaimana dalam konsep pendidikan perdamaian yang diusung Abdurahman Wahid (Gus Dur) tentang proses knowledge, skill, dan attitude.
Baca juga: Bela Bangsa dan Penegak Agama |
Ketiga hal tersebut menggambarkan bahwa ketika perdamaian telah dijadikan cara pandang untuk melihat yang lain, maka: (1). Pengetahuan (knowledge) yang meliputi pemahaman, kesadaran diri, dan pengenalan tentang (budaya, ras, gender, keadilan, agama, dan hak-hak asasi manusia), akan menghindari seseorang dari konflik (peace-keeping) atau jaga-damai. (2). Keterampilan (skill) yang meliputi komunikasi, kerjasama, sabar, dan empati akan menciptakan (peace-making) atau cipta-damai. (3). Sikap (attitude) yang meliputi menghormati orang lain, memiliki sikap toleran dan bertanggung jawab akan menghasilkan (peace-bulding) atau bina-damai (Sadiyah, 2019).
Dengan cara pandangan inilah sikap kita seharusnya dipraktekkan terhadap etnis Tionghoa dan bangsa China. Di tengah-tengah kehidupan global yang semakin terintergrasi satu sama lain. Sebagaimana yang dilakukan oleh Gus Dur ketika melakukan kebijakan dengan dikeluarkannya Inpres no 6/2000 yang isinya mengenai pencabutan Inpres no. 14/1967 tentang adanya pelarangan etnis Tionghoa untuk menjalankan adat istiadat, kebudayaan, dan agama Konghucu.
Bahkan Gus Dur melangkah lebih jauh terhadap eksistensi agama Konghucu yang dianut oleh etnis Tionghoa, yaitu dengan diakuinya agama Konghucu sebagai salah satu agama di Indonesia. Sebab menurut Gus Dur kerukunan antar umat beragama bukan sekedar hidup berdampingan secara damai tetapi adanya sikap saling mengerti satu sama lain.
Inilah sikap yang menghindarkan kita dari selalu berburuk sangka terhadap sesuatu yang berbeda dengan kita khususnya saudara-saudara dari etnis Tionghoa. Sebagaimana yang dikatakan Nabi Muhammad bahwa; “Setiap kali kekerasan memasuki sesuatu, ia (akan) mencemarinya, dan setiap kali kelembutan memasuki sesuatu, ia (membawa) rahmat kepadanya. Sesungguhnya Allah memberkahi sikap lembut sesuatu yang tidak diberkahi pada sikap yang keras.” (Anand, 2015). [SJ]
_ _ _ _ _ _ _ _ _Catatan: Tulisan ini murni opini penulis, redaksi tidak bertanggung jawab terhadap konten dan gagasan. Saran dan kritik silakan hubungi redaksi@artikula.id
Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Selain apresiasi kepada penulis, komentar dan reaksi Anda juga menjadi semangat bagi Tim Redaksi 🙂