KEMARIN sore beredar video berdurasi 2.22 menit menampilkan Ketum Persaudaraan Islam Tionghoa Indonesia (PITI), Dr Ipong Hembing Putra berbicara dengan lugas yang intinya mengimbau sahabat baiknya, saudara seimannya Haji Muhammad Jusuf Hamka agar tidak mencampuri urusan Vihara Buddha Cing De Yuen di Petak Sembilan, Jakarta Barat.
Imbauan itu tentu terasa sangat wajar mengingat karena disampaikan oleh pengurus Umat Islam Tionghoa kepada umatnya sendiri. Dan di balik itu tentu memberi arti tersendiri bagi umat Buddha, karena telah dihormati sebagaimana mestinya.
Memang dalam koridor toleransi tidaklah mengherankan kalau sebuah tempat ibadah mendapat kontribusi sumbangan bagi pembangunannya. Tetapi duduk sebagai pengurus adalah sangat tidak lazim, selain perbedaan tata ibadah, juga etika ritual pun tidak mungkin dijalankan oleh penganut beda agama.
Haji Muhammad Jusuf Hamka baru-baru ini diketahui telah membangun sebuah mesjid baru di bawah jalan Tol dan diberi nama mesjid Babah Alun. Bagian dari seribu mesjid yang direncanakannya.
Sehingga sangatlah terasa janggal bahkan cukup mengganggu kenyamanan umat Buddha Cing De Yuen itu bila Jusuf Hamka duduk sebagai pengurus di sana, termasuk di kepanitiaan Pemugarannya. Niat berbuat baik tidak mesti sampai sejauh itu. Sumbangsih berupa materi dan turut mendoakan kelancarannya sudah lebih dari cukup.
Dikotomi campur aduk penganut berbeda agama pada sebuah tempat ibadah tertentu sejauh ini tidak pernah terjadi, aturan pemerintah sangat jelas mengenai hal ini. Toleransi antar agama dalam wujud wadah kerukunan antar umat beragama pun sudah selaras dengan etika dan norma moral agama masing-masing.
Merujuk pada pesan Ketum PITI yang juga bersumber dari Ketua Pendiri Prof H Hadiman dan Pembina H.M. Jos Soetomo serta Dewan Pakar H. Syarif Tanudjaya, tampaknya Jusuf Hamka patut mengambil langkah bijaksana yang sehat bagi perkembangan masing-masing agama baik kini maupun ke depannya.
Adian Radiatus
Pengamat sosial dan politik